Kamis, 25 Desember 2008

Ibnu Khaldun My History Teacher

Ibnu Khaldun : Peletak Dasar Ilmu Sosial

Katagori : Muslim Heritage
Oleh : Redaksi 20 Sep 2007 - 10:30 pm

Ia pun membagi masyarakat menjadi masyarakat kota dan desa.
imageIbnu Khaldun lahir di Tunis, Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H atau 27 Mei 1332 M. Nama lengkapnya adalah Abdurahman bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Al-Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdurahman bin Ibnu Khaldun.

Nenek moyang Ibnu Khaldun berasal dari Hadramaut, Yaman yang berimigrasi ke Sevilla, Andalusia, Spanyol. Namun keluarganya akhirnya meninggalkan Sevilla menunju Melilia, Maroko kemudian menuju ke Tunisia saat Abi Zakariya hafsid pada 1228-1249. Ibnu Khaldun berasal dari keluarga cendekiawan yang tak begitu tertarik dengan persoalan politik. Sejumlah bidang menjadi bagian penting dalam proses pendidikannya. Di antaranya adalah Alquran, tata bahasa, hukum, hadis, retorika, filologi, matematika, filsafat, dan astronomi.

Ayahnya sendiri, Muhammad, yang memberikan pengajaran pertama kepada Ibnu Khaldun. Selanjutnya, ia menimba ilmu dari banyak cendekiawan yang ada di Tunis. Apalagi saat itu, Tunis seakan menjadi pusat cendekiawan Muslim dari Andalusia. Menurut Ensiklopedi Islam, pada 751 H, yaitu saat Ibnu Khaldun berusia 21 tahun, ia diangkat menjadi sekretaris Sultan Dinasti Hafs, al Fadl yang berkedudukan di Tunisia. Namun tak lama kemudian, ia berhenti karena penguasa yang didukungnya kalah dalam pertempuran pada 753 H.

Ibnu Khaldun kemudian menuju Baskara, Maghrib Tengah, Aljazair. Di sana ia berupaya untuk mendapatkan pekerjaan dari Sultan Abu Anan yang menjadi penguasa Bani Marin. Dan pada 755 H, ia berhasil mendapat kedudukan sebagai anggota Majelis Ilmu Pengetahuan. Setahun kemudian ia diangkat menjadi sekretaris Sultan. Dan jabatan itu ia jabat hingga 763 H. Pada 764 H, ia berangkat ke Granada karena mendapatkan tugas dari Sultan Bani Ahmar sebagai duta di Castilla. Ia menjalankan tugasnya dengan gemilang.

imageNamun pada suatu saat, hubungannya dengan Sultan retak. Hingga kemudian pada 766 H, ia mendapat undangan dari penguasa Bani Hafs, Abu Abdillah Muhammad, untuk datang Bijayah, daerah pesisir Laut Tengah di Aljazair. Kemudian ia diangkat sebagai perdana menteri. Baru setahun, Bijayah jatuh ke tangan Sultan Abul Abbas Ahmad, yang sebelumnya menjabat sebagai gubernur di Qasanthinah. Meksi berganti penguasa, Ibnu Khaldun tetap diberi jabatan yang sama. Hingga kemudian ia memutuskan untuk berangkat ke Baskara.

Serangkian peristiwa di dunia politik ia alami. Hingga ia memutuskan untuk menjauhi politik. Ia memutuskan untuk tinggal di Qal'at, Aljazair. Di sanalah ia menulis kitab monumentalnya Kitab al-I'bar wa Diwan al Mubtada wa al-Khabar fi Ayyam al A'rab wa al Barbar atau al I'bar. Kitab yang berisi tujuh jilid ini, berisi kajian sejarah yang didahului Muqaddimah, jilid satu yang membahas tentang masalah-masalah sosial manusia. Muqaddimah ini membuka jalan pembahasan mengenai ilmu-ilmu sosial.

Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa politik tak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Ia pun membagi masyarakat menjadi masyarakat kota dan desa. Tak heran, bila kemudian Ibnu Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan politik Islam. Pada 780 H, Ibnu Khaldun, kembali ke Tunisia. Ia menelaah sejumlah kitab yang dibutuhkan untuk merevisi kitab al-I'bar. Empat tahun kemudian ia pergi ke Iskandaria, Mesir untuk menghindari kekacaun politik yang terjadi di tempat kelahirannya. Dari sana ia lalu ke Kairo.

Di Kairo, Ibnu Khaldun mendapatkan sambutan yang luar biasa dari para ulama di sana. Ia bahkan membentuk sebuah halaqah di Al Azhar. Selain Kitab al-I'bar, Ibnu Khaldun juga menulis sejumlah kitab lainnya yang berkualitas tinggi. Kitab itu adalah at-Ta'rif bi Ibn Khaldun, sebuah otobiografi, yang merupakan catatan kitab sejarahnya. Ia pun menulis kitab mengenai teologi, Lubab al-Muhassal di Usul ad-Din. Ini merupakan ringkasan dari kirab Muhassal Afkar al-Mutaqaddimin wa al Muta'akhirin, karya Imam Fakjruddin ar- Razi. Kitab ini memuat pandangan-pandangan teologi dari Ibnu Khaldun. fer/RioL

image

Selasa, 23 Desember 2008

Active Learning Strategy

A. Latar Belakang
Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya untuk mengarahkan anak didik ke dalam proses belajar sehingga mereka dapat memperoleh tujuan belajar sesuai dengan apa yang diharapkan. Pembelajaran hendaknya memperhatikan kondisi individu anak karena merekalah yang akan belajar. Anak didik merupakan individu yang berbeda satu sama lain, memiliki keunikan masing-masing yang tidak sama dengan orang lain. Oleh karena itu pembelajaran hendaknya memperhatikan perbedaan-perbedaan individual anak tersebut, sehingga pembelajaran benar-benar dapat merobah kondisi anak dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak paham menjadi paham serta dari yang berperilaku kurang baik menjadi baik. Kondisi riil anak seperti ini, selama ini kurang mendapat perhatian di kalangan pendidik. Hal ini terlihat dari perhatian sebagian guru/pendidik yang cenderung memperhatikan kelas secara keseluruhan, tidak perorangan atau kelompok anak, sehingga perbedaan individual kurang mendapat perhatian. Gejala yang lain terlihat pada kenyataan banyaknya guru yang menggunakan metode pengajaran yang cenderung sama setiap kali pertemuan di kelas berlangsung.
Pembelajaran yang kurang memperhatikan perbedaan individual anak dan didasarkan pada keinginan guru, akan sulit untuk dapat mengantarkan anak didik ke arah pencapaian tujuan pembelajaran. Kondisi seperti inilah yang pada umumnya terjadi pada pembelajaran konvensional. Konsekuensi dari pendekatan pembelajaran seperti ini adalah terjadinya kesenjangan yang nyata antara anak yang cerdas dan anak yang kurang cerdas dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Kondisi seperti ini mengakibatkan tidak diperolehnya ketuntasan dalam belajar, sehingga sistem belajar tuntas terabaikan. Hal ini membuktikan terjadinya kegagalan dalam proses pembelajaran di sekolah.
Menyadari kenyataan seperti ini para ahli berupaya untuk mencari dan merumuskan strategi yang dapat merangkul semua perbedaan yang dimiliki oleh anak didik. Strategi pembelajaran yang ditawarkan adalah strategi belajar aktif (active learning strategy).

B. Strategi Pembelajaran Aktif (Active Learning Strategy)
1. Pengertian
Pembelajaran aktif (active learning) dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan semua potensi yang dimiliki oleh anak didik, sehingga semua anak didik dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan sesuai dengan karakteristik pribadi yang mereka miliki. Di samping itu pembelajaran aktif (active learning) juga dimaksudkan untuk menjaga perhatian siswa/anak didik agar tetap tertuju pada proses pembelajaran.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa perhatian anak didik berkurang bersamaan dengan berlalunya waktu. Penelitian Pollio (1984) menunjukkan bahwa siswa dalam ruang kelas hanya memperhatikan pelajaran sekitar 40% dari waktu pembelajaran yang tersedia. Sementara penelitian McKeachie (1986) menyebutkan bahwa dalam sepuluh menit pertama perthatian siswa dapat mencapai 70%, dan berkurang sampai menjadi 20% pada waktu 20 menit terakhir.
Kondisi tersebut di atas merupakan kondisi umum yang sering terjadi di lingkungan sekolah. Hal ini menyebabkan seringnya terjadi kegagalan dalam dunia pendidikan kita, terutama disebabkan anak didik di ruang kelas lebih banyak menggunakan indera pendengarannya dibandingkan visual, sehingga apa yang dipelajari di kelas tersebut cenderung untuk dilupakan. Sebagaimana yang diungkapkan Konfucius:
Apa yang saya dengar, saya lupa
Apa yang saya lihat, saya ingat
Apa yang saya lakukan, saya paham
Ketiga pernyataan ini menekankan pada pentingnya belajar aktif agar apa yang dipelajari di bangku sekolah tidak menjadi suatu hal yang sia-sia. Ungkapan di atas sekaligus menjawab permasalahan yang sering dihadapi dalam proses pembelajaran, yaitu tidak tuntasnya penguasaan anak didik terhadap materi pembelajaran.
Mel Silberman (2001) memodifikasi dan memperluas pernyataan Confucius di atas menjadi apa yang disebutnya dengan belajar aktif (active learning), yaitu :
Apa yang saya dengar, saya lupa
Apa yang saya dengar dan lihat, saya ingat sedikit
Apa yang saya dengar, lihat dan tanyakan atau diskusikan dengan beberapa teman lain, saya mulai paham
Apa yang saya dengar, lihat, diskusikan dan lakukan, saya memperoleh pengetahuan dan keterampilan
Apa yang saya ajarkan pada orang lain, saya kuasai
Ada beberapa alasan yang dikemukakan mengenai penyebab mengapa kebanyakan orang cenderung melupakan apa yang mereka dengar. Salah satu jawaban yang menarik adalah karena adanya perbedaan antara kecepatan bicara guru dengan tingkat kemampuan siswa mendengarkan apa yang disampaikan guru. Kebanyakan guru berbicara sekitar 100-200 kata per menit, sementara anak didik hanya mampu mendengarkan 50-100 kata per menitnya (setengah dari apa yang dikemukakan guru), karena siswa mendengarkan pembicaraan guru sambil berpikir. Kerja otak manusia tidak sama dengan tape recorder yang mampu merekam suara sebanyak apa yang diucapkan dengan waktu yang sama dengan waktu pengucapan. Otak manusia selalu mempertanyakan setiap informasi yang masuk ke dalamnya, dan otak juga memproses setiap informasi yang ia terima, sehingga perhatian tidak dapat tertuju pada stimulus secara menyeluruh. Hal ini menyebabkan tidak semua yang dipelajari dapat diingat dengan baik.
Penambahan visual pada proses pembelajaran dapat menaikkan ingatan sampai 171% dari ingatan semula. Dengan penambahan visual di samping auditori dalam pembelajaran kesan yang masuk dalam diri anak didik semakin kuat sehingga dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan hanya menggunakan audio (pendengaran) saja. Hal ini disebabkan karena fungsi sensasi perhatian yang dimiliki siswa
saling menguatkan, apa yang didengar dikuatkan oleh penglihatan (visual), dan apa yang dilihat dikuatkan oleh audio (pendengaran). Dalam arti kata pada pembelajaran seperti ini sudah diikuti oleh reinforcement yang sangat membantu bagi pemahaman anak didik terhadap materi pembelajaran.
Penelitian mutakhir tentang otak menyebutkan bahwa belahan kanan korteks otak manusia bekerja 10.000 kali lebih cepat dari belahan kiri otak sadar. Pemakaian bahasa membuat orang berpikir dengan kecepatan kata. Otak limbik (bagian otak yang lebih dalam) bekerja 10.000 kali lebih cepat dari korteks otak kanan, serta mengatur dan mengarahkan seluruh proses otak kanan. Oleh karena itu sebagian proses mental jauh lebih cepat dibanding pengalaman atau pemikiran sadar seseorang (Win Wenger, 2003:12-13). Strategi pembelajaran konvensional pada umumnya lebih banyak menggunakan belahan otak kiri (otak sadar) saja, sementara belahan otak kanan kurang diperhatikan. Pada pembelajaran dengan Active learning (belajar aktif) pemberdayaan otak kiri dan kanan sangat dipentingkan.
Thorndike (Bimo Wagito, 1997) mengemukakan 3 hukum belajar, yaitu :
1. law of readiness, yaitu kesiapan seseorang untuk berbuat dapat memperlancar hubungan antara stimulus dan respons.
2. law of exercise, yaitu dengan adanya ulangan-ulangan yang selalu dikerjakan maka hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi lancar
3. law of effect, yaitu hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi lebih baik jika dapat menimbulkan hal-hal yang menyenangkan, dan hal ini cenderung akan selalu diulang.
Proses pembelajaran pada dasarnya merupakan pemberian stimulus-stimulus kepada anak didik, agar terjadinya respons yang positif pada diri anak didik. Kesediaan dan kesiapan mereka dalam mengikuti proses demi proses dalam pembelajaran akan mampu menimbulkan respons yang baik terhadap stimulus yang mereka terima dalam proses pembelajaran. Respons akan menjadi kuat jika stimulusnya juga kuat. Ulangan-ulangan terhadap stimulus dapat memperlancar hubungan antara stimulus dan respons, sehingga respons yang ditimbulkan akan menjadi kuat. Hal ini akan memberi kesan yang kuat pula pada diri anak didik, sehingga mereka akan mampu mempertahankan respons tersebut dalam memory (ingatan) nya. Hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi lebih baik kalau dapat menghasilkan hal-hal yang menyenangkan. Efek menyenangkan yang ditimbulkan stimulus akan mampu memberi kesan yang mendalam pada diri anak didik, sehingga mereka cenderung akan mengulang aktivitas tersebut. Akibat dari hal ini adalah anak didik mampu mempertahan stimulus dalam memory mereka dalam waktu yang lama (longterm memory), sehingga mereka mampu merecall apa yang mereka peroleh dalam pembelajaran tanpa mengalami hambatan apapun.
Active learning (belajar aktif) pada dasarnya berusaha untuk memperkuat dan memperlancar stimulus dan respons anak didik dalam pembelajaran, sehingga proses pembelajaran menjadi hal yang menyenangkan, tidak menjadi hal yang membosankan bagi mereka. Dengan memberikan strategi active learning (belajar aktif) pada anak didik dapat membantu ingatan (memory) mereka, sehingga mereka dapat dihantarkan kepada tujuan pembelajaran dengan sukses. Hal ini kurang diperhatikan pada pembelajaran konvensional.
Dalam metode active learning (belajar aktif) setiap materi pelajaran yang baru harus dikaitkan dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman yang ada sebelumnya. Materi pelajaran yang baru disediakan secara aktif dengan pengetahuan yang sudah ada. Agar murid dapat belajar secara aktif guru perlu menciptakan strategi yang tepat guna sedemikian rupa, sehingga peserta didik mempunyai motivasi yang tinggi untuk belajar. (Mulyasa, 2004:241)
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa perbedaan antara pendekatan pembelajaran Active learning (belajar aktif) dan pendekatan pembelajaran konvensional, yaitu :
Pembelajaran konvensional Pembelajaran Active learning
Berpusat pada guru Berpusat pada anak didik
Penekanan pada menerima pengetahuan Penekanan pada menemukan
Kurang menyenangkan Sangat menyenangkan
Kurang memberdayakan semua Membemberdayakan semua
indera danpotensi anak didik indera dan potensi anak didik
Menggunakan metode yang monoton Menggunakan banyak metode
Kurang banyak media yang digunakan Menggunakan banyak media
Tidak perlu disesuaikan dengan Disesuaikan dengan
Pengetahuan yang sudah ada pengetahuan yang sudah ada

Perbandingan di atas dapat dijadikan bahan pertimbangan dan alasan untuk menerapkan strategi pembelajaran active learning (belajar aktif) dalam pembelajaran di kelas.
Selain itu beberapa hasil penelitian yang ada menganjurkan agar anak didik tidak hanya sekedar mendengarkan saja di dalam kelas. Mereka perlu membaca, menulis, berdiskusi atau bersama-sama dengan anggta kelas yang lain dalam memecahkan masalah. Yang paling penting adalah bagaimana membuat anak didik menjadi aktif, sehingga mampu pula mengerjakan tugas-tugas yang menggunakan kemampuan berpikir yang lebih tinggi, seperti menganalisis, membuat sintesis dan mengevaluasi. Dalam konteks ini, maka ditawarkanlah strategi-strategi yang berhubungan dengan belajar aktif. Dalam arti kata menggunakan teknik active learning (belajar aktif) di kelas menjadi sangat penting karena memiliki pengaruh yang besar terhadap belajar siswa.

2. Aplikasi Active learning (belajar aktif) dalam Pembelajaran

L. Dee Fink (1999) mengemukakan model active learning (belajar aktif) sebagai berikut.

Dialog dengan diri sendiri adalah proses di mana anak didik mulai berpikir secara reflektif mengenai topik yang dipelajari. Mereka menanyakan pada diri mereka sendiri mengenai apa yang mereka pikir atau yang harus mereka pikirkan, apa yang mereka rasakan mengenai topik yang dipelajari. Pada tahap ini guru dapat meminta anak didik untuk membaca sebuah jurnal atau teks dan meminta mereka menulis apa yang mereka pelajari, bagaimana mereka belajar, apa pengaruh bacaan tersebut terhadap diri mereka.
Dialog dengan orang lain bukan dimaksudkan sebagai dialog parsial sebagaimana yang terjadi pada pengajaran tradisional, tetapi dialog yang lebih aktif dan dinamis ketika guru membuat diskusi kelompok kecil tentang topik yang dipelajari.
Observasi terjadi ketika siswa memperhatikan atau mendengar seseorang yang sedang melakukan sesuatu hal yang berhubungan dengan apa yang mereka pelajari, apakah itu guru atau teman mereka sendiri
Doing atau berbuat merupakan aktivitas belajar di mana siswa berbuat sesuatu, seperti membuat suatu eksperimen, mengkritik sebuah argumen atau sebuah tulisan dan lain sebagainya.
Ada banyak metode yang dapat digunakan dalam menerapkan active learning (belajar aktif) dalam pembelajaran di sekolah. Mel Silberman (2001) mengemukakan 101 bentuk metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran aktif. Kesemuanya dapat diterapkan dalam pembelajaran di kelas sesuai dengan jenis materi dan tujuan yang diinginkan dapat dicapai oleh anak. Metode tersebut antara lain Trading Place (tempat-tempat perdagangan), Who is in the Class?(siapa di kelas), Group Resume (resume kelompok), prediction (prediksi), TV Komersial, the company you keep (teman yang anda jaga), Question Student Have (Pertanyaan Peserta Didik), reconnecting (menghubungkan kembali), dan lain sebagainya.
Dalam kesempatan ini penulis mencoba menyajikan beberapa model pembelajaran aktif yang disajikan Silberman.

Question Student Have (Pertanyaan Peserta Didik)
Metode Question Student Have ini digunakan untuk mempelajari tentang keinginan dan harapan anak didik sebagai dasar untuk memaksimalkan potensi yang mereka miliki. Metode ini menggunakan sebuah teknik untuk mendapatkan partisipasi siswa melalui tulisan. Hal ini sangat baik digunakan pada siswa yang kurang berani mengungkapkan pertanyaan, keinginan dan harapan-harapannya melalui percakapan.
Prosedur :
1. Bagikan kartu kosong kepada siswa
2. Mintalah setiap siswa menulis beberapa pertanyaan yang mereka miliki tentang mata pelajaran atau sifat pelajaran yang sedang dipelajari
3. Putarlah kartu tersebut searah keliling jarum jam. Ketika setiap kartu diedarkan pada peserta berikutnya, peserta tersebut harus membacanya dan memberikan tanda cek di sana jika pertanyaan yang sama yang mereka ajukan
4. Saat kartu kembali pada penulisnya, setiap peserta telah memeriksa semua pertanyaan yang diajukan oleh kelompok tersebut. Fase ini akan mengidentifikasi pertanyaan mana yang banyak dipertanyakan. Jawab masing-masing pertanyaan tersebut dengan :
a. Jawaban langsung atau berikan jawaban yang berani
b. Menunda jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut sampai waktu yang tepat
c. Meluruskan pertanyaan yang tidak menunjukkan suatu pertanyaan
5. Panggil beberapa peserta berbagi pertanyaan secara sukarela, sekalipun pertanyaan mereka tidak memperoleh suara terbanyak
6. Kumpulkan semua kartu. Kartu tersebut mungkin berisi pertanyaan-pertanyaan yang mungkin dijawab pada pertemuan berikutnya.
Variasi :
1. Jika kelas terlalu besar dan memakan waktu saat memberikan kartu pada siswa, buatlah kelas menjadi sub- kelompok dan lakukan instruksi yang sama. Atau kumpulkan kartu dengan mudah tanpa menghabiskan waktu dan jawab salah satu pertanyaan
2. Meskipun meminta pertanyaan dengan kartu indeks, mintalah peserta menulis harapan mereka dan atau mengenai kelas, topik yang akan anda bahas atau alasan dasar untuk partisipasi kelas yang akan mereka amati.
3. Variasi dapat pula dilakukan dengan meminta peserta untuk memeriksa dan menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh kelompok tersebut, sehingga fase ini akan dapat mengidentifikasi pertanyaan mana yang mendapat jawaban terbanyak, sebagai indikasi penguasaan anak terhadap objek yang dipertanyakan.

Reconnecting (menghubungkan kembali)
Metode reconnecting (menghubungkan kembali) ini digunakan untuk mengembalikan perhatian anak didik pada pelajaran setelah beberapa saat tidak melakukan aktivitas tersebut.
Prosedur :
1. Ajaklah anak didik kembali kepada pelajaran. Jelaskan pada anak didik bahwa menghabiskan beberapa menit untuk mengaitkan kembali pelajaran dengan pengetahuan anak akan memberi makna yang berarti.
2. Tentukan satu atau lebih dari pertanyaan-pertanyaan berikut ini kepada para peserta didik :
• Apa saja yang masih anda ingat tentang pelajaran terakhir kita ? apa saja yang masih bertahan dalam diri anda ?
• Sudahkah anda membaca / berpikir /melakukan sesuatu yang dirangsang oleh pelajaran terakhi kita ?
• Pengalaman menarik apa yang telah anda miliki di antara pelajaran-pelajaran?
• Apa saja yang ada dalam pikiran anda sekarang (misal nya sebuah kekhawatiran) yang mungkin mengganggu kemampuan anda untuk memberi perhatian pebuh terhadap pelajaran hari ini?
• Bagaimana perasaan anda hari ini? (Dapat dilakukan dengan memberikan metafor, seperti “Saya merasa bagaikan pisang busuk
3. Dapatkan respons dengan menggunakan salah satu format, seperti sub-kelompok atau pembicara dengan urutan panggilan berikutnya
4. Hubungkan dengan topik sekarang
Variasi :
1. Lakukan sebuah ulasan tentang pelajaran yang telah lalu
2. Sampaikan dua pertanyaan, konsep atau sejumlah informasi yang tercakup dalam pelajaran yang lalu. Mintalah peserta didik untuk memberikan suara terhadap sesuatu yang paling mereka sukai agar anda mengulas pelajaran tersebut. Ulaslah pertanyaan, konsep, atau informasi yang menang.

Pengajaran Sinergetik (Synergetic Teaching)
Metode ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada siswa membandingkan pengalaman-pengalaman (yang telah mereka peroleh dengan teknik berbeda) yang mereka miliki.
Prosedur :
a. Bagi kelas menjadi dua kelompok
b. Salah satu kelompok dipisahkan ke ruang lain untuk membaca topik pelajaran
c. Kelompok yang lain diberikan materi pelajaran yang sama dengan metode yang diinginkan oleh guru.
d. Pasangkan masing-masing anggota kelompok pembaca dan kelompok penerima materi pelajaran dari guru dengan tugas menyimpulkan/meringkas materi pelajaran.

Kartu Sortir (Card Sort)
Metode ini merupakan kegiatan kolaboratif yang bisa digunakan untuk mengajarkan konsep, penggolongan sifat, fakta tentang suatu objek, atau mengulangi informasi.
Prosedur :
a. Masing-masing siswa diberikan kartu indek yang berisi materi pelajaran. Kartu indek dibuat berpasangan berdasarkan definisi, kategori/kelompok, misalnya kartu yang berisi aliran empiris dengan kartu pendidikan ditentukan oleh lingkungan dll. Makin banyak siswa makin banyak pula pasangan kartunya.
b. Guru menunjuk salah satu siswa yang memegang kartu, siswa yang lain diminta berpasangan dengan siswa tersebut bila merasa kartu yang dipegangnya memiliki kesamaan definisi atau kategori.
c. Agar situasinya agak seru dapat diberikan hukuman bagi siswa yang melakuan kesalahan. Jenis hukuman dibuat atas kesepakatan bersama.
d. Guru dapat membuat catatan penting di papan tulis pada saat prosesi terjadi.
TRADING PLACE
Metode ini memungkinkan peserta didik lebih mengenal, tukar menukar pendapat dan mempertimbangkan gagasan, nilai atau pemecahan baru terhadap berbagai masalah.

Prosedur :
1. beri peserta didik satu atau lebih catatan-catatan Post-it (tentukan apakah kegiatan tersebut akan berjalan lebih baik dengan membatasi para peserta didik terhadap sebuah atau beberapa kontribusi)
2. mintalah mereka untuk menulis dalam catatan merea salah satu dari hal berikut :
a. sebuah nilai yang mereka pegang
b. sebuah pengalaman yang telah mereka miliki saat ini
c. sebuah ide atau solusi kreatif terhadap sebuah problema yang telah anda tentukan
d. sebuah pertanyaan yang mereka miliki mengenai persoalan dari mata pelajaran
e. sebuah opini yang mereka pegang tentang sebuah topik pilihan anda
f. sebuah fakta tentang mereka sendiri atau persoalan pelajaran
3. mintalah peseta didik menaruh (menempelkan) catatan tersebut pada pakaian mereka dan mengelilingi ruangan dengan atau sambil membaca tiap catatan milik peserta yang lain
4. kemudian, suruhlah para peserta didik berkumpul sekali lagi dan mengasosiasikan sebuah pertukaran catatan-catatan yang telah diletakkan pada tempatnya (trade of Post-it notes) satu sama lain. Pertukaran itu hendaknya didasarkan pada sebuah keinginan untuk memiliki sebuah nilai, pengalaman, ide, pertanyaan, opini atau fakta tertentu dalam waktu yang singkat. Buatlah aturan bahwa semua pertukaran harus menjadi dua jalan. Doronglah peserta didik untuk membuat sebanyak mungkin pertukaran yang mereka sukai.
5. kumpulkan kembali kelas tersebut dan mintalah para peserta didik berbagi pertukaran apa yang mereka buat dan mengapa demikian. (misalnya : Mita : “Saya menukar catatan dengan Sonya karena dia telah membuat catatan tentang perjalanan ke Eropa Timur. Saya menyukai perjalanan ke sana karena saya mempunyai nenek moyang yang berasal dari Hongaria dan Ukraina

WHO IN THE CLASS?
Metode ini digunakan untuk memecahkan kebekuan suasana dalam kelas. Teknik ini lebih mirip dengan perburuan terhadap teman-teman di kelas daripada terhadap benda. Strategi ini membantu perkembangan pembangunan team (team building) dan membuat gereakan fisik berjalan tepat pada permulaan gerakan fisik berjalan tepat pada permulaan sebuah perjalanan.

Prosedur:
1. Buatlah 6 sampau 10 pertanyaan deskriptif untuk melengkapi frase : Carilah seseorang yang…………
Suka/senang menggambar
Mengetahui apa yang dimaksud rebonding
Mengira bahwa hari ini akan hujan
Berperilaku baik
Telah mengerjakan PR
Punya semangat kuat dalam belajar
dll
2. Bagikan pernyataan-pernyataan itu kepada peserta didik dan berikah beberapaperintah berikut :
Kegiatan ini seperti sebuah perburuan binatang, kecuali bahwa anda mencari orang sebagai pengganti benda. Ketika saya berkata “mulai” kelilingilah ruangan dengan mencari orang-orang yang cocok dengan pernyataan ini. Anda bisa menggunakan masing-masing orang hanya untuk sebuah pernyataan, meskipun dia memiliki kecocokan lebih dari satu. Tulislah nama orang tersebut
3. ketika kebanyakan peserta didik telah selesai, beri tanda stop berburu dan kumpulkan kembali ke kelas.
4. guru dapat menawarkan sebuah hadiah penghargaan teradap orang yang selesai pertama kali. Yang lebih penting surveilah kelas tersebut. Kembangkan diskusi singkat tentang beberapa bagian yang mungkin merangsang perhatian dalam topik pelajaran.

Resume kelompok
Teknik resume secara khusus menggambarkan sebuah prestasi , kecakapan dan pencapaian individual, sedangkan resume kelompok merupakan cara yang menyenangkan untuk membantu para peserta didi lebih mengenal atau melakukan kegiatan membangun tem dari sebuah kelompok yang para anggotanya telah mengenal satu sama lain.

Prosedur :
1. Bagilah peserta didik ke dalam kelompok sekitar 3 sampai 6 anggota
2. beritahukan kelas itu bahwa kelas berisi sebuah kesatuan bakat dan pengalaman yang sangat hebat
3. sarankan bahwa salah satu cara untuk mengenal dan menyampaikan sumber mata pelajaran adalah dengan membuat resume kelompok.
4. berikan kelompok cetakan berita dan penilai untuk menunjukkan resume mereka. Resume tersebut seharusnya memasukkan beberapa informasi yang bisa menjual kelompok tersebut secara keseluruhan. Data yang disertakan bisa berupa :
latar belakang pendidikan; sekolah-sekolah yang dimasuki
pengetahuan tentang isi pelajaran
pengalaman kerja
posisi yang pernah dipegang\keterampilan-keterampilan
hobby, bakat, perjalanan, keluarga
prestasi-prestasi
5. ajaklah masing-masing kelompok untuk menyampaikan resumenya

PREDICTION (PREDIKSI)
Metode ini dapat membantu para siswa menjadi kenal satu sama lain

Prosedur :
1. bentuklah sub-sub kelompok dari 3 sampai 4 orang siswa (yang relatif masih asing satu sama lain)
2. beritahukan pada peserta didik bahwa pekerjaan mereka adalah meramalkan bagaimana masing-masing orang dalam kelompoknya akan menjawab pertanyaan tertentu yang telah dipersiapkan untuk mereka, seperti :
a. kamu menyukai musik apa?
b. Apa di antara kegiatan waktu luang favorit anda?
c. Berapa jam kamu bisa tidur malam?
d. Berapa saudara kandung yang kamu miliki dan kamu berada pada urutan berapa?
e. Di mana kamu dibesarkan?
f. Seperti apa kamu ketika masih kecil?
g. Apakah orang tua kamu bersikap toleran atau ketat?
h. Pekerjaan apa yang telah kamu miliki?
3. mintalah sub-sub kelompok mulai dengan memilih satu orang sebagaoi subyek pertamanya. Dorong anggota kelompok se spesifik mungkin dalam prediksi mereka mengenai orang itu. Beritahukan mereka agar tidak takut tentang tebakan-tebakan yang berani.
4. mintalah masing-masing anggota kelompok bergiliran sebagai orang fokus/utama.

Tv Komersial
Metode ini dapat menghasilkan pembangunan team (team building) yang cepat
Prosedur :

1. bagilah peserta didik ke dalam team yang tidak lebih dari 6 anggota
2. mintalah team-team membuat iklan TV 30 detik yang meniklankan masalah pelajaran dengan menekankan nilainya bagi meraka atau bagi dunia
3. iklan hendaknya berisi sebuah slogan (sebagai contoh “Lebih baik hidup dengan ilmu Kimia”) dan visual (misalnya, produk-produk kimia terkenal)
4. jelaskan bahwa konsep umum dan sebuah outline dari iklan tersebut sesuai. Namun jika team ingin memerankan iklannya, hal tersebut baik juga.
5. sebelum masing-masing team mulai merencanakan iklannya, maka diskusikan karakteristik dari beberapa iklan yang saat ini terkenal untuk merangsang kreatifitas (misalnya penggunaan sebuah kepribadian terkenal, humor, perbandingan terhadap persaingan, daya tarik sex)
6. mintalah masing-masing team menyampaikan ide-idenya. Pujilah kreatifitas setiap orang.

The Company You Keep
Metode ini digunakan untuk membantu siswa sejak awal agar lebih mengenal satu sama lain aktivitas kelas bergerak dengan cepat dan amat menyenangkan.

Prosedur :
1. buatlah datar kategori yang anda pikir mungkin tepat dalam sebuah kegiatan untuk lebih mengenal pelajaran yang anda ajar. Kategori-kategori tersebut meliputi :
a. bulan kelahiran
b. orang yang suka atau tidak suka suatu objek
c. kesukaan seseorang
d. tangan yang digunakan untuk menulis
e. warna sepatu
f. setuju atau tidak dengan beberapa pernyataan opini tentang sebuah isi hangat (misalnya “Jaminan pemeliharaan kesehatan hendaknya bersifat universal”)
Catatan: Kategori dapat pula dikaitkan langsung dengan materi pelajaran yang diajarkan
2. bersihkan ruang lantaiagar peserta didik dapat berkeliling dengan bebas
3. sebutkan sebuah kategori. Arahkan para peserta didik untuk menentukan secepat mungkin semua orang yang akan mereka kaitkan dengan kategori yang ada. Misal para penulis dengan tangan kanan dan penulis dengan tangan kiri akan terpisah menjadi dua bagian.
4. ketika para peserta didik telah membentuk kelompok-kelompok yang tepat, mintalah mereka berjabatan tangan dengan teman yang mereka jaga. Ajaklah semua untuk mengamati dengan tepat berapa banyak otang yang ada di dalam kelompok-kelompok yang berbeda.
5. lanjutkan segera pada kategori berikutnya. Jagalah peserta didik tetap bergerak dari kelompok ke kelompok ketika anda mengumumkan kategori-kategori baru.
6. kumpulkan kembali seluruh kelas. Diskusikan perbedaan peserta didik yang muncul dari latihan itu. (http://edu-articles.com/)

Maktabah Asyafi'iyah

Literatur buku-buku Fiqh dalam Madzhab Syafi’i

Dibandingkan dengan madzhab-madzhab fiqih lainnya, madzhab Syafi’i tentu merupakan madzhab yang paling banyak buku-buku fiqhnya. Dalam maktabah-maktabah, kemungkinan besar buku-buku madzab fiqh Syafi’i ini menghabiskan setengahnya bahkan lebih dari isi maktabah tersebut.

Banyaknya buku-buku ini, adalah berkat kejuhudan murid-murid dan ulama Syafi’iyyah. Juga karena buku-buku fiqh Madzhab Syafi’i ini satu sama lain ditulis dengan saling mengacu pada kitab sebelumnya, sehingga berkaitan dan bersambung.

Buku pertama dalam madzhab Syafi’i adalah kitab al-Umm karya Imam Syafi’i (w 150H) sendiri. Pada masa berikutnya, buku al-Umm ini diringkas oleh muridnya yang bernama Imam al-Muzani (w 264 H) dalam bukunya berjudul Mukhtashar al-Muzani. Tidak lama kemudian, buku Mukhtashar al-Muzani ini disyarah oleh Imam al-Haramain al-Juwaini (w 478 H) dalam Nihayatul Mathlab fi Dirayah al-Madzhab. Selang beberapa lama karya Imam Juwaini ini diringkas oleh muridnya Imam al-Ghazali (w 505 H) dalam bukunya al-Basith. Tidak puas dengan al-Basith, Imam Ghazali meringkasnya menjadi al-Wasith, kemudian al-Wasith diringkas juga dalam bukunya yang lain berjudul al-Wajiz dan terakhir, buku al-Wajiz ini diringkas lagi dalam bukunya al-Khulashah.

Imam ar-Raf’i (w 624 H) meringkas al-Wajiz karya Imam al-Ghazali tadi menjadi al-Muharrar. Selang beberapa lama, Imam Nawawi (w 676 H) meringkas buku al-Muharrar dalam karyanya Minhajut Thalibin yang kemudian menjadi pegangan utama para ulama Syafi’iyyah dalam berijtihad dan berfatwa. Kemudian, buku Minhajut Thalibin ini diringkas oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dalam bukunya al-Manhaj. Buku al-Manhaj ini lalu diringkas oleh Imam al-Jauhari menjadi an-Nahj.

Imam ar-Rafi’i juga mensyarah kitab al-Wajiz karya Imam Ghazali dalam dua buah karyanya yakni asy-Syarh as-Shagir, dan asy-Syarh al-Kabir yang diberi nama dengan al-’Aziz. Kemudian Imam Nawawi meringkas buku al-Aziz karya Imam Rafi’i tadi menjadi ar-Raudhah (lengkapnya Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin), lalu Ibnu Maqarra meringkas ar-Raudah menjadi ar-Raud. Imam Zakaria al-Anshari kemudian mensyarah buku ar-Raud ini dalam karyanya berjudul al-Asna.

Ibnu Hajar al-Haitami (w 974 H) meringkas buku ar-Raud ini dalam karyanya berjudul an-Na’im. Kitab ar-Raudhah juga diringkas oleh Ahmad bin Umar al-Muzjid az-Zabidi dalam karyanya berjudul al-’Ibab, kemudian Ibn Hajar al-Haitami mensyarahnya menjadi al-Ii’ab hanya saja tidak sampai akhir.

Imam Suyuthi (w 911 H) meringkas kitab ar-Raudah ini dalam karyanya berjudul al-Gunyah, dan mengumpulkannya menjadi kumpulan nadham dalam karyanya berjudul al-Khulashah, akan tetapi tidak sampai selesai.

Imam al-Qazuwaini meringkas buku al-Aziz karya Imam Rafi’i dalam karyanya berjudul al-Hawi ash-Shagir, kemudian dikumpulkan dalam nadham-nadham oleh Ibn al-Wardi dalam karyanya berjudul al-Buhjah. Lalu kitab al-Buhjah ini disyarah oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dengan dua syarah (hanya tidak disebutkan nama syarah ini).

Ibnu al-Maqarri meringkas buku al-Hawi ash-Shagir menjadi al-Irsyad. Al-Irsyad ini disyarah oleh Ibn Hajar al-Haitami dalam dua syarah. Setelah masa Ibnu Hajar al-Haitami ini baru bermunculan buku-buku berupa hasyiyah dari kitab-kitab sebelumnya.

Tampak kesinambungan buku-buku fiqh madzhab Syafi’i ini antara satu dengan yang lainnya. Inilah yang menyebabkan buku-buku fiqh Madzhab Syafi’i ini menjadi lebih banyak bila dibandingkan dengan madzhab fiqh lainnya. Hal ini juga menjadikan cara penempatan bab-bab fiqh dalam buku-buku fiqh Syafi’i menjadi hampir sama. Misal, pembagian bab-bab yang disusun dalam kitab al-Umm hampir sama penempatannya dengan buku Minhajut Thalibin atau syarahnya.

Berikut adalah urutan sejarah kitab-kitab madzhab Syafi’i. Dari sejarah perkembangan madzhab Syafi’i, kitab-kitab fiqh madzhab Syafi’i dicoba dibagi ke dalam tujuh kelompok.

Ketujuh pengelompokan dimaksud adalah:

1. Karya-karya Imam Syafi’i
2. Karya-karya Ulama Syafi’iyyah generasi pertama
3. Karya-karya ulama Syafi’iyyah generasi kedua
4. Karya-karya yang berkaitan dengan fiqih muqaran
5. Karya-karya yang membahas tema-tema tertentu dan khusus
6. Karya-karya yang tidak termasuk salah satu dari lima kelompok di atas
7. Karya-karya Madzhab Syafi’i belakangan

Berikut ini penjelasannya,

.

1. Karya-karya Imam Syafi’i .

Berikut ini karya-karya Imam Syafi’i yang disusun ketika beliau berada di Mesir:

1. Kitab al-Umm
2. Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wabni Abi Laila
3. Kitab Ikhtilaf Ali wa Abdillah bin Mas’ud
4. Kitab Ikhtilaf Malik was Syafi’i
5. Kitab Jima’il ‘Ilm
6. Kitab Bayan Faraidhillah
7. Kitab Shifati Nahyi Rasulillah
8. Kitab Ibthalil Istihsan
9. Kitab ar-Radd ‘Ala Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany
10. Kitab Siyaril Auzai.

Semua karya-karya Imam Syafi’i sebagaimana telah penulis sebutkan di atas, telah ditahkik (diberi catatan kaki) dengan sangat bagus dan lengkap oleh DR. Ahmad Badruddin Hasun dengan judul Mausu’ah al-Imam asy-Syafi’i . Buku tahkiknya ini awalnya adalah risalah Dukturah beliau yang diajukan ke Jami’ah Islamiyyah di Karachi Pakistan.

Buku ini dicetak pertama kali oleh Dar Qutaibah di Beirut pada tahun 1996 dalam 15 Juz yang dikumpulkan dalam 10 Jilid besar. Menurut penulis asli artikel ini, buku tahkikan DR. Ahmad Badruddin Hasun ini adalah yang paling baik dan paling lengkap dalam segi tahkikan dan kekayaan maklumat yang dikandungnya.

Untuk mengetahui dalil-dalil di dalam kitab al-Umm ini, ada kitab, yakni Ma’rifatus Sunan wal Atsar karya Imam al-Hafidz al-Baihaqi. Kitab ini sangat berguna untuk mengetahui dalil-dalil Imam Syafi’i terutama dalil-dalil dari Sunnah dan Atsar serta bagaimana kedudukan haditsnya dan sanadnya. Kadang-kadang dalam kitab al-Umm sendiri tidak disebutkan dalilnya, tapi langsung ke hukumnya. Buku ini dicetak oleh Darul Kutub Ilmiyyah Beirut dengan muhakik Sayyid Karwi Hasan.

.

2. Karya-karya Tokoh Ulama Syafi’iyyah generasi pertama setelah Imam Syafi’i

Yang dimaksud dengan tokoh Syafi’iyyah generasi pertama di sini adalah untuk menyebut dua imam besar madzhab Syafi’i yakni Imam Rafi’i (557-623H) dan Imam Nawawi (631-676 H).

Karya-karya dua imam ini dalam madzhab Syafi’i mempunyai kedudukan sangat penting, bahkan terpenting setelah karya-karya Imam Syafi’i. Ketika seseorang ingin mengetahui pendapat ulama madzhab Syafi’i (bukan pendapat Imam Syafi’i ) tentang sebuah masalah, maka karya-karya dua imam ini dapat mewakilinya.

Di sini, apabila kedua imam tersebut sepakat dan tidak ada beda pendapat dalam satu masalah, maka pendapat itulah yang dipandang sebagai pendapat yang abash sebagai madzhab Syafi’i.

Namun, apabila antara Imam Rafi’i dengan Imam Nawawi berbeda pendapat dan tidak mungkin dapat digabungkan kedua pendapat tersebut, dan antara keduanya sama kuat, maka yang harus didahulukan adalah pendapatnya Imam Nawawi.

Mengingat pentingnya karya-karya dua imam dimaksud, berikut ini diketengahkan karya-karya keduanya.

A. Karya-karya Imam Abdul Karim bin Muhammad ar-Rafi’i

1) Kitab al-Muharrar. Buku ini sampai saat ini masih berbentuk makhtutat, manuskrip dan belum ditahkik serta belum dicetak. Barangkali di antara sebab belum ditahkik dan belum dicetaknya, lantaran sudah terwakili oleh buku Minhajut Thalibin yang merupakan ringkasan dari Kitab al-Muharrar tersebut.

2) Kitab asy-Syarhus Shagir. Buku ini merupakan syarah terhadap buku Imam al-Ghazali yang berjudul al-Wajiz. Buku ini, sudah ditahkik oleh mahasiswa magister Jami’ah al-Jinan al-Lubnaniyyah, hanya saja sampai saat ini belum dicetak.

3) Kitab al-Aziz Syarh al-Wajiz atau asy-Syarh al-Kabir. Buku ini merupakan buku terpenting dan terbesar dari karya Imam Rafi’i. Buku ini merupakan syarah dari buku al-Wajiz karya Imam al-Ghazali, dengan syarah yang sangat luas dan panjang.

Dalam penjabarannya, Imam Rafi’i dalam buku ini terlebih dahulu menjelaskan persoalan, kemudian kaitannya dengan pendapat Imam Syafi’i serta pendapat para ashhabnya, kemudian diakhiri dengan pemilihan mana yang dipandang sebagai madzhab Syafi’i.

Buku ini ditahkik oleh Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwad serta dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah pada tahun 1997.

B. Karya-karya Imam Nawawi

Imam Nawawi mengarang banyak buku fiqh dalam Madzhab Syafi’i. Sementara buku-bukunya yang masih ada yang dipandang sangat penting, adalah:

1) Kitab Minhajut Thalibin. Buku ini merupakan ringkasan dari buku al-Muharrar karya Imam Rafi’i. Buku Minhajut Thalibin ini dinilai buku yang sangat penting bahkan terpenting di antara buku-buku periode pertama Madzhab Syafi’i.

Umumnya, buku ini menjadi rujukan utama para ulama Syafi’iyyah dalam menetapkan sebuah persoalan. Oleh karena itu, buku ini mempunyai syarah dan hawasyi yang sangat banyak. Di antara syarah terhadap buku ini adalah Mughnil Muhtaj karya al-Khatib asy-Syarbini, al-Manhaj wa Syarhuh karya Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari, Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al-Haitami, dan Nihayatul Muhtaj karya Imam ar-Ramli.

2) Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin. Buku ini merupakan ringkasan dari buku al-Aziz Syarh al-Wajiz karya Imam Rafi’i. Buku ini lebih tebal dari pada buku Minhajut Thalibin di atas.

3) Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab. Buku ini merupakan buku terbesar dan terpenting dari karya Imam Nawawi. Buku ini merupakan syarah dari buku al-Muhadzab karya Abu Ishak as-Syairazi (w 476) sekaligus sebagai buku syarah paling terkenal dan paling bagus dari pada syarah-syarah al-Muhadzab lainnya. Buku ini sangat tebal terdiri tidak kurang dari 30 jilid lebih.

Dalam buku ini Imam Nawawi bukan semata mengungkapkan pendapat Madzhab Syafi’i, akan tetapi juga membandingkannya dengan madzhab-madzhab lainnya yang tentunya disertai dengan munaqasyah dan rad-rad tajam.

Hanya saja, Imam Nawawi meninggal sebelum beliau menyelesaikan buku al-Majmu ini. Imam Nawawi menulis buku ini hanya sampai pada Bab Riba dari Kitab al-Buyu’. Kemudian Imam Taqiyuddin as-Subuki (w 756) mencoba melengkapinya, namun juga keburu meninggal. Beliau hanya dapat melengkapi sekitar tiga jilid saja. Beberapa ulama lain yang melengkapi buku al-Majmu’ ini adalah al-Allamah Isa bin Yusuf Mannun (w 1376 H) dan Muhammad Najib al-Muthi’i (w 1406 H). Buku al-Majmu’ ini adalah buku terakhir Imam Nawawi.

Meski demikian, para ulama Syafi’iyyah berikutnya dalam menetapkan sebuah persoalan lebih banyak berpegang kepada Minhajut Thalibin dan Raudhatut Thalibin dari pada kepada al-Majmu’. Hal ini barangkali di antaranya disebabkan bahwa kitab al-Majmu’ ditulis bukan oleh Imam Nawawi secara lengkap, akan tetapi juga ditulis oleh ulama-ulama lainnya sebagaimana telah disebutkan di atas.

4) Syarah Shahih Muslim. Imam Nawawi juga mensyarah kitab Shahih Muslim dalam karyanya berjudul al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hijaj. Buku ini dinilai sebagai buku syarah terpenting dan terbaik juga lebih terkenal dari pada syarah-syarah lainnya terhadap Shahih Muslim. Buku ini dicetak beberapa kali cetakan dan oleh beberapa penerbit.

Ada yang dicetak oleh Dar Ihya at-Turats al-Arabi yang berikan nomor oleh Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi’, ditahkik oleh Syaikh Irfan Hasunah dan diberi kata pengantar oleh DR Muhammad al-Mar’isyli.

Bagaimana cara mentarjih antara aqwal dalam madzhab Syafi’i

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa pendapat Imam Syafi’i (al-aqwal) terkadang lebih dari satu demikian juga dengan pendapat para ulama Syafi’iyyah generasi awal (al-aujuh). Untuk itu, dibutuhkan upaya tarjih di antara pendapat-pendapat tersebut.

Upaya untuk mentarjih aqwal tersebut telah dilakukan oleh dua Imam besar yakni Imam Rafi’i dan Imam Nawawi. Berikut penuturan Imam Nawawi dalam mukaddimah kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, mengenai metode tarjih yang dipakainya apabila terjadi perbedaan di antara aqwal tersebut:

1. Pendapat Imam Syafi’i yang tidak bertentangan dengan dalil baik pendapat lama (al-qaul al-qadim) maupun pendapat baru (al-qaul al-jadid) adalah yang diambil sebagai pendapat Madzhab Syafi’i .

2. Qaul Jadid Imam Syafi’i dipandang sebagai Madzhab Syafi’i apabila secara terang-terangan bertentangan dengan qaul qadim. Namun, apabila qaul jaded tidak bertentangan dengan qaul qadim, atau tidak diketemukan pendapat Imam Syafi’i dalam qaul jaded, maka qaul qadim itulah yang dipandang sebagai madzhab Syafi’i.

3. Apabila ada dua pendapat Imam Syafi’i yang sama baik dari segi baru, lama atau dalilnya, maka ambillah pendapat yang paling akhir dari kedua pendapat tersebut, apabila diketahui pendapat mana yang paling akhir. Namun, apabila tidak diketahui pendapat yang paling akhir, maka ambil pendapat yang ditarjih sendiri oleh Imam Syafi’i .

4. Apabila pendapat-pendapat Imam Syafi’i tersebut tidak diketahui mana yang murajjah dan mana yang murajjihnya, baik dari segi qadim jadidnya atau dari sisi tidak ada tarjih sama sekali dari Imam Syafi’i , maka harus dicari mana yang paling rajih dengan jalan disesuaikan dengan nash-nash dari Imam Syafi’i lainnya, metode dan kaidah pengambilan hukumnya serta ushul-ushul yang biasa dipakai oleh Imam Syafi’i .

.

3. Karya-karya para ulama Syafi’iyyah generasi kedua

Dimaksudkan dengan karya-karya para ulama Syafi’iyyah generasi kedua ini adalah masa munculnya dua Imam besar yakni Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H) dan Syamsud Din Muhammad ar-Ramli (w 1004 H).

Besarnya sumbangsih kedua Imam ini terutama dengan syarah keduanya terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi.

Berikut adalah karya kedua imam dimaksud,

1. Tuhfatul Muhtaj bi Syarh al-Minhaj. Buku ini ditulis oleh Imam Ibn Hajar al-Haitami sebagai syarah terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi.

Buku ini dicetak beberapa kali dan mempunyai dua hasyiyah yaitu Hasyiyah al-Allamah Ahmad bin Qasim al-Ubady (w 994 H) dan Hasyiyah al-Allamah Abdul Hamid asy-Syarwany. Buku ini di antaranya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut dengan muhaqiq Syaikh Muhammad Abdul Aziz al-Khalidy—dan tahkikan beliau hemat penulis lebih bagus dan lebih lengkap.

2. Nihayatul Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj. Buku ini juga merupakan syarah dari buku Minhajut Thalibin Imam Nawawi yang ditulis oleh Imam Syamsud Din ar-Ramly.

Buku ini juga dicetak beberapa kali serta mempunyai dua hasyiyah yakni Hasyiyah al-Allamah Nurud Din Ali bin Ali asy-Syibramalisi (w 1087 H) dan Hasyiyah al-Allamah Ahmad Abdur Razaq yang dikenal dengan sebutan al-Maghriby ar-Rasyidy (w 1096 H)

Baik buku Tuhfatul Muhtaj maupun Nihayatul Muhtaj merupakan dua buah buku yang banyak dijadikan pegangan oleh ulama Syafi’iyyah dalam menetapkan hukum sebuah persoalan atau dalam berfatwa setelah masa Imam Nawawi.

Apabila ada persoalan yang tidak dibahas di kedua kitab itu, maka acuan diambil dari karya-karya Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari (w 926 H), khususnya kitab al-Manhaj yakni buku ringkasan dari Kitab Minhajut Thalibin dan buku al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarh Mandhumatil Buhjah al-Wardiyyah—kedua buku tersebut telah dicetak. Kemudian setelahnya adalah kitab Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfadh al-Minhaj karya al-Khatib asy-Syarbini (w 977) yang juga merupakan syarah terhadap kitab Minhajut Thalibin. Buku ini juga dicetak dan sangat terkenal di kalangan madzhab Syafi’i, termasuk dijadikan referensi utama di lingkungan Universitas al-Azhar fakultas Syariah Islamiyyah.

Setelah buku Mughnil Muhtaj, maraji’ fiqh Syafi’i berikutnya adalah buku-buku hasyiyah (hasyiyah adalah syarah dari buku syarah) misalnya hawasyi yang telah disebutkan di atas, juga hasyiyah Qalyuby Umairah karya Syaikh Syihabuddin al-Qalyubi dan Syaikh Umairah yang merupakan syarah dari syarah Imam Jalaluddin al-Mahally terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi.

Apabila terjadi perbedaan pendapat antara Imam Ibnu Hajar al-Haitami dengan Imam Syamsuddin ar-Ramli, ada perbedaan prioritas antara ulama Mesir dengan ulama Hijaj.

Menurut ulama Mesir, maka pendapat ar-Ramli yang harus didahulukan khususnya apa yang tertera dalam kitabnya, Nihayatul Muhtaj. Hal ini karena buku tersebut telah disodorkan, dibaca, diminta kritik serta dibetulkan oleh pengarangnya sendiri kepada 400 ulama. Sehingga dengan demikian, keabsahan buku tersebut dapat dikatakan mutawatir dan karenanya harus lebih didahulukan dari pada yang lainnya.

Sedangkan menurut ulama Hijaj, Hadramaut, Syam, Yaman, bahwa yang harus diambil manakala terjadi pertentangan antara ar-Ramli dengan al-Haitami adalah pendapat Ibn Hajar al-Haitami khususnya yang tercantum dalam bukunya Tuhfatul Muhtaj. Hal ini dikarenakan buku tersebut mencakup juga nushush dari Imam al-Haramain al-Juwaini.

Kedua kitab di atas dipandang telah mencukupi sebagai pegangan dalam madzab syafi’i. Ada dua alasan penting:

1. Banyak para ulama Syafi’iyyah setelah masa Imam ar-Ramli yang memuji dengan sangat kehebatan dan keunggulan dua buah buku tersebut yakni at-Tuhfah dan an-Nihayah. Sehingga para ulama Syafi’iyyah menjadikannya sebagai pegangan utama ketika mereka berfatwa.

Salah satunya adalah al-Alamah Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi asy-Syafi’i (w 1194 H) dalam bukunya berjudul al-Fawaid al-Madaniyyah Fiman Yufta Biqaulihi Min Aimmah asy-Syafi’iyyah sebagaimana dikutip dalam buku at-Tahdzib fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i karya Imam al-Baghawi (I/50-51).

2. Kedua Imam Ibn Hajar al-Haitami dan Syamsud Din ar-Ramli dalam kitabnya at-Tuhfah dan an-Nihayah, ketika membahas masalah-masalah fiqh, seringkali menyebut perbedaan pendapat antara Imam Rafi’i dan Imam Nawawi. Disamping karena usaha dan kejuhudan keduanya dalam menggali gagasan-gagasan dan pemikiran fiqh Imam Nawawi dan Rafi’i tidak diragukan lagi.

Namun tentu saja tetap lebih baik jika mengkaji pula kitab-kitab Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.

.
4. Karya-karya fiqh perbandingan (al-fiqh al-muqaran)

Buku-buku yang membandingkan juga me-rad dan mentarjih buku-buku fiqh madzhab lainnya, pada masa lalu disebut dengan buku yang berbicara tentang ilmul khilaf atau dalam istilah sekarang, al-fiqh al-muqaran, fiqh perbandingan.

Kelebihan kitab ini adalah adanya perbandingan dengan madzab-madzab lain. Berikut ini buku-buku fiqh Muqaran yang ditulis oleh ulama madzhab Syafi’i,

a. Al-Hawi al-Kabir. Buku ini ditulis oleh al-Imam Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi ( w 450 H) yang merupakan syarah dari kitab Mukhtashar al-Muzani karya Imam Muzani. Buku ini merupakan syarah al-Mukhtashar yang sangat panjang.

Di dalamnya dikemukakan pendapat-pendapat Imam Syafi’i, juga pendapat ashshab Imam Syafi’i berikut dalil-dalilnya serta dibandingkan dengan madzhab fiqh lainnya semisal dengan madzhab Malikiyyah, Hanabilah, Dhahiriyyah. Buku ini pertama kali dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut tahun 1994 dalam 18 jilid besar dengan muhakkik Ali Muhammad Mu’awwad dan Adil Ahmad Abdul Maujud.

b. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab. Telah dibahas.

c. Hilyatul Ulama fi Ma’rifati Madzahib al-Fuqaha. Buku ini ditulis oleh Imam Saifud Din Abu Bakar Muhammad bin Ahmad asy-Syasyi al-Qaffal (w 507 H). Buku ini bukan merupakan syarah atau ringkasan dari buku-buku sebelumnya. Buku ini dicetak oleh Maktabah ar-Risalah Amman pada tahun (cetakan pertama) 1988 yang terdiri dari delapan jilid besar-besar.

.

5. Buku-buku Fiqh Madzhab Syafi’i yang berbicara tentang bab-bab / tema-tema tertentu

Buku-buku ini adalah buku-buku madzhab Syafi’i akan tetapi hanya membahas tema-tema tertentu dan terbatas.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini buku-buku bermadzhab Syafi’i yang membahas tema-tema tertentu.

1) Al-Ahkam as-Sulthaniyyah wal Wilayat ad-Diniyyah. Buku ini dikarang oleh Imam Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi ( w 450 H).

Buku ini merupakan buku madzhab Syafi’i paling popular yang berbicara tentang siyasah syar’iyyah. Dalam menyajikan persoalannya, Imam Mawardi dalam buku ini mencoba mengetengahkan dengan model perbandingan (muqaranah).

Buku ini terdiri dari dua puluh bab, di antaranya menjelaskan tentang hokum khilafah, wizarah, wilayah al-madhalim, qadha, hokum-hukum yang berkaitan dengan fai, jizyah, kharaj dan lainnya.

2) Giyas al-Umam fit Tiyas adh-Dhulam. Buku ini sering disingkat dengan nama al-Giyasi. Dikarang oleh Imam al-Haramain al-Juwaini (w 478 H) yang dipersembahkan untuk salah seorang menteri saat itu yang bergelar Giyas ad-Daulah Nidham al-Mulk (w 485 H).

Buku ini hampir sama dengan buku al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya Imam Mawardi dari segi tema-tema yang dibahasnya, hanya saja buku ini lebih menekankan pada pembahasan teori-teori khilafah Islamiyyah dan kejadian-kejadian masa silam. Buku ini dicetak beberapa kali oleh beberapa penerbit, di antaranya pernah dicetak oleh Kuliyyah Syari’ah Jami’ah Qatar.

3) Adabul Qadha. Buku ini seringkali disebut juga dengan nama ad-Durar al-Munadhamat fil Aqdiyyah wal Hukumat. Ditulis oleh sejarawan ternama al-Qadhi Syihabuddin Ibrahim bin Abdullah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Abid Dam al-Hamawi (w 642 H).

Buku ini merupakan buku terpenting dalam madzhab Syafi’i yang berbicara tentang hokum-hukum yang berkaitan dengan dakwaan, bukti, saksi atau yang sering kita kenal sekarang dengan Ilmu Beracara di pengadilan. Buku ini pernah ditahkik oleh DR. Muhyiud Din Hilal Sarhan al-Iraqi untuk mengambil gelar duktur di Universitas al-Azhar fakultas Syari’ah dan dicetak di Beirut dalam dua jilid lumayan tebal.

4) Nihayatul Hidayah Ila Tahrir al-Kifayah fi Ilm al-Fara’id. Buku ini ditulis oleh Syaikhul Islam Zakaria bin Muhammad al-Anshari (w 926 H). Buku ini sesuai dengan namanya merupakan buku yang berbicara tentang hokum warits Islam bermadzhab Syafi’i. Dan buku ini, hemat penulis, merupakan buku yang sangat penting dalam mengkaji Ilmu Warits. Buku ini dicetak oleh Dar Ibn Khuzaemah Riyad, tahun 1420 H.

6. Buku-buku Madzhab Syafi’i yang tidak termasuk salah satu bagian dari lima kelompok sebelumnya

Buku-buku ini adalah buku-buku bermadzhab Syafi’i juga, hanya saja bukan termasuk atau berkaitan dengan karya-karya Imam Nawawi, Imam Rafi’i atau Imam al-Haitami dan Imam ar-Ramli, juga bukan buku-buku tentang ilmul khilaf.

Buku-buku ini sama dipandang penting, hanya tidak sepenting buku-buku sebelumnya. Buku-buku yang termasuk kelompok ini dibagi kepada dua bagian, yakni buku-buku yang dikarang sebelum karya-karya ulama Syafi’iyyah generasi kedua dan setelah generasi kedua.

Pertama, buku-buku yang dikarang sebelum masa ulama Syafi’iyyah generasi kedua (sekitar setelah wafatnya Imam Syafi’i sampai abad ke-10 Hijriyyah) adalah:

1. Al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i. Buku ini dikarang oleh Imam Abu Ishak asy-Syairazi (w 476 H). Buku ini dicetak beberapa kali oleh beberapa penerbit yang salah satunya dicetak oleh Darul Qalam Damaskus sebanyak enam jilid tebal-tebal dan ditahkik oleh Muhammad az-Zuhaili.

2. Al-Wasith fil Madzhab. Buku ini ditulis oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali (w 505 H) yang merupakan ringkasan dari bukunya yang berjudul al-Basith dan al-Basith ini juga merupakan ringkasan dari buku karya Imam al-Haramain al-Juwaini yang berjudul Nihayatul Mathlab fi Dirayah al-Madzhab. Buku ini juga telah dicetak beberapa kali di antaranya oleh Wizaratul Auqaf was Syu’un al-Islamiyyah, Qatar pada tahun 1993 yang ditahkik oleh DR Ali Muhyiyud Din al-Qurrah Dagi.

Kedua buku ini yakni al-Muhadzab dan al-Wasith sempat dijadikan buku terpenting yang menjadi rujukan para fuqaha Syafi’iyyah dalam memberikan fatwa sebelum munculnya karya-karya Imam Nawawi dan Imam Rafi’i. Setelah muncul dua imam tersebut, perhatian beralih kepada karya-karya keduanya, karena dipandang lebih lengkap dan lebih mendalam.

3. Al-Wajiz fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i . Buku ini juga dikarang oleh Imam Ghazali sebagai ikhtishar atas buku sebelumnya yakni al-Wasith. Buku ini telah dicetak oleh Darul Kutub Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997 dengan muhakkik Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwad.

4. At-Tahdzib fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i . Buku ini ditulis oleh Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Bagawi (w 516 H). Buku ini dicetak oleh Darul Kutub Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997 yang terdiri dari delapan jilid besar dengan muhakkik Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwad.

5. Ajalatul Muhtaj Ila Taujih al-Minhaj. Buku ini ditulis oleh Imam Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Ali yang dikenal dengan samaran Ibn al-Mulaqqan (w 804 H). Buku ini juga merupakan syarah Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi dan dicetak oleh Darul Kitab Jordan dalam empat jilid besar dengan muhakkik Ustadz Izzud Din Hisyam bin Abdul Karim al-Badrany pada tahun 2001.

6. Kanzur Ragibin fi Syarh Minhajut Thalibin. Buku ini ditulis oleh Imam Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli (w 864 H). Buku ini terkenal dengan nama Syarah al-Muhalla ‘Alal Minhaj.

Buku ini juga dinilai sebagai salah satu buku terpenting dalam syarah terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi dan senantiasa dijadikan rujukan oleh para ulama Syafi’iyyah sebelum datangnya dua buah syarah, Tuhfatul Muhtaj dan Nihayatul Muhtaj karya Imam al-Haitami dan ar-Ramli. Begitu datang dua syarah tersebut, buku Syarah al-Muhalla kemudian ditinggalkan dan berpaling kepada dua syarah karya ar-Ramli dan al-Haitami.

Buku Syarah al-Muhalla ini menjadi muqarrar pada mata kuliah fiqh di Universitas al-Azhar asy-Syarif sampai saat makalah ini ditulis. Buku ini mempunyai dua hasyiyah, yang pertama Hasyiyah Syihabuddin Ahmad al-Burullusy yang mempunyai nama panggilan Umairah (w 957 H) dan Hasyiyah Syihabuddin Ahmad bin Ahmad bin Salamah al-Qalyubi (w 1069 H). Keduanya terkenal dengan sebutan Hasyiyatai al-Qalyubi wa Umairah. Buku ini beberapa kali dicetak dan yang penulis pandang lebih bagus adalah yang ditahkik oleh Syaikh Abdul Latif Abdur Rahman cetakan Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut dalam lima jilid besar-besar. Dicetak pertama kali pada tahun 1997.

Kedua, buku-buku yang ditulis setelah masa ulama Syafi’iyyah generasi kedua (dari tahun 1004 H-1335 H). Buku-buku yang termasuk kelompok ini adalah:

1. Futuhat al-Wahab bi Taudih Syarh Manhaj at-Thulab. Buku ini ditulis oleh al-Allamah Sulaiman bin Umar bin Manshur al-Ujaili yang terkenal dengan sebutan al-Jamal (w 1204 H). Buku ini merupakan syarah dari kitab Syarah Manhajut Thulab. Dan kitab Manhajut Thulab ini merupakan ringkasan dari buku Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi. Baik kitab Manhaj at-Thulab maupun Syarahnya, keduanya ditulis oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari (w 926 H). Jadi, kitab Futuhat al-Wahab bi Taudih Syarh Manhaj at-Thulab ini merupakan buku Hasyiyah atas kitab Syarh al-Manhaj. Buku Futuhat al-Wahab lebih dikenal dengan sebutan Hasyiyah al-Jamal.

Buku ini dicetak berulang-ulang, dan yang paling baik, menurut penulis, adalah yang ditahkik oleh Syaikh Abdur Razaq Galib al-Mahdi yang dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut dalam delapan jilid tebal. Dicetak pertama kali pada tahun 1996.

2. Hasyiyah asy-Syarqawi. Buku ini ditulis oleh al-Alamah Abdullah bin Hijazi bin Ibrahim asy-Syarqawi (w 1226 H) yang merupakan syarah dari kitab Tuhfatut Thullab bi Syarh Tahrir Tanqih al-Lubab. Buku ini lebih dikenal dengan Hasyiyah asy-Syarqawi ‘ala Syarh at-Tahrir.

Buku Tahrir Tanqih al-Lubab merupakan ringkasan dari fiqh Syafi’i dan kemudian buku tersebut disyarah dengan nama Tuhfatut Thulab. Baik buku Tahrir Tanqih al-Lubab maupun buku Tuhfatut Thulab, keduanya merupakan karya Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari. Buku ini di antaranya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997 dengan muhakkik Syaikh Mushtafa bin Hanafi ad-Dzahabi dalam empat jilid besar.

3. I’anatut Thalibin. Buku ini ditulis oleh al-Alamah Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi al-Bikry (wafat pada abad ke 14 Hijriyyah, tidak diketahui tahun kewafatannya). Buku ini juga merupakan buku Hasyiyah terhadap kitab Fathul Mu’in yang merupakan syarah dari Kitab Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din. Buku Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din merupakan ringkasan dari Fiqh Syafi’i . Syarah dari buku Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din adalah Fathul Mu’in, dan keduanya merupakan karya al-Allamah Zainuddin al-Mullibary (w 987 H).

Buku I’anatut Thalibin dicetak beberapa kali dan salah satunya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut pada tahun 1995 dalam empat jilid besar.

4. Tarsyih al-Mustafiidiin. Buku ini juga merupakan buku Hasyiyah ringkas yang ditulis oleh al-Allamah Alawy bin Ahmad bin Abdur Rahman as-Saqqaf al- Makky (w 1335 H). Buku ini merupakan buku Hasyiyah terhadap kitab Fathul Mu’in karya al-Mullibary—penjelasan mengenai buku Fathul Mu’in ini lihat di nomor tiga. Buku ini dicetak oleh Maktabah al-Ghazali Damaskus dalam satu jilid.

.

7. Karya-karya madzhab Syafi’i belakangan.

Pada bagian ini, kita akan berbicara tentang buku-buku yang ditulis seputar fiqh Syafi’i yang berkisar antara tahun 1335 H sampai sekarang 1426 H. Buku-buku yang berbicara tentang madzhab Syafi’i pada abad belakangan ini akan penulis kemukakan, tentunya sepengetahuan penulis yang sangat sederhana.

Namun sebelumnya, perlu penulis kemukakan, bahwa buku-buku fiqh Syafi’i yang ditulis belakangan ini mempunyai dua kelebihan: Pertama, bahasa dan susunanya mudah dipahami, jelas dan padat berisi tidak bertele-tele. Kedua, bahasan dan persoalan yang dikemukakan betul-betul yang terjadi saat ini, bukan sesuatu yang tidak terjadi lagi. Misalnya tidak adanya bahasan tentang perbudakan dan atau yang sejenisnya.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini buku-buku yang termasuk kelompok terakhir, abad belakangan, masa kini, di antaranya:

1) Zadul Muhtaj fi Syarh al-Minhaj. Buku ini ditulis oleh Syaikh Abdullah bin Hasan Ali Hasan al-Kuhaji (w 1400 H) dan merupakan syarah dari kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi yang dalam penyusunannya berpegang kepada kitab Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifat Ma’ani Alfadh al-Minhaj karya al-Khatib asy-Syarbini (w 977 H). Buku ini terdiri dari empat jilid dan dicetak oleh al-Maktabah al-Ashriyyah Beirut dengan muhakkik Ustadz Abdullah al-Anshari.

2) Al-Fiqh al-Manhaji ‘Ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i . buku ini ditulis oleh tiga ulama besar Damaskus masa kini yaitu oleh DR. Mustafa Sa’id al-Khinn, DR. Mushtafa Dibul Bugha, dan Syaikh Ali asy-Syarbiji. Buku ini selesai ditulis pada tahun 1978 M, dan dicetak beberapa kali di antaranya oleh Darul Qalam Damasykus pada tahun 1998 (cetakan ketiga) dan terdiri dari tiga jilid.

3) Ad-Durar an-Naqiyyah fi Fiqh as-Sadah asy-Syafi’iyyah. Buku ini ditulis oleh Syaikh Muhammad ash-Shadiq Qamhawi, salah seorang pengawas umum al-Azhar asy-Syarif Mesir. Buku ini ditulis untuk dijadikan muqarrar bagi siswa tingkat Aliyah di Ma’had-ma’had al-Azhar. Buku ini teleh dicetak beberapa kali di antaranya oleh al-Maktabah al-Azhariyyah lit Turats pada tahun 1997 yang terdiri dari empat jilid ukuran kecil.

4) Taisir Fathil Qarib al-Mujib lit Thalib al-Azhary an-Najib fi Shurah Sail wa Mujib. Buku ini ditulis oleh dua ulama kenamaan Mesir saat ini yakni oleh DR. Nashr Farid Muhammad Washil, mantan mufti Jumhuriyyah Mesir sebelum Prof. DR. Ahmad Thayyib juga ketua jurusan Fiqh Islam Universitas al-Azhar dan DR. Abdul Hamid as-Sayyid Muhammad Abdul Hamid, dekan Ma’had I’dad ad-Du’ah di propinsi Qana, Mesir. Buku ini ditulis juga untuk dijadikan muqarrar bagi siswa siswi Tsanawiyyah (menengah) di seluruh ma’had al-Azhar. Buku ini dicetak oleh al-Maktabah al-Azhariyyah lit Turats, Kairo pada tahun 1996 yang terdiri dari tiga jilid kecil.
.
Istilah-Istilah dalam madzhab Syafi’i iyah

Para ulama Syafi’iyyah dalam buku-bukunya seringkali menggunakan beberapa istilah khusus. Terkadang ada beberapa istilah dalam satu buku madzhab Syafi’i yang makna dan maksudnya berbeda dengan apa yang ada dalam buku lain.

Untuk mengetahui makna dari istilah-istilah dimaksud, anda dapat membacanya pada pendahuluan atau lembar-lembar awalnya. Biasanya di sana terdapat petunjuk praktis untuk hal tersebut. Penjelasan istilah-istialah di awal ini, misalnya anda dapat temukan dalam buku al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab karya Imam Nawawi.

Berikut ini adalah istilah-istilah yang digunakan hampir dalam semua buku fiqh Syafi’iyyah yang mempunyai pengertian dan maksud yang sama. Di antara istilah-istialah dimaksud adalah:

1. Al-Aqwal. Apabila anda mendapatkan kata al-qaul atau al-aqwal dalam buku-buku Syafi’iyyah, maka maksudnya adalah perkataan atau hasil ijtihad Imam Syafi’i, baik dalam qaul qadimnya maupun qaul jadidnya.
2. Al-Qaul al-Qadim, maksudnya adalah pedapat Imam Syafi’i sebelum pindah ke Mesir baik berupa karya maupun fatwa. Di antara para periwayat qaul qadim ini adalah Imam az-Za’farany, al-Karabisy dan Abu Tsaur. Jadi apabila anda mendapatkan pendapat Imam Syafi’i dari riwayat mereka, maka itu adalah pendapat lama Imam Syafi’i (qaul qadim).
3. Al-Qaul al-Jadid, adalah pendapat Imam Syafi’i ketika di Mesir, baik berupa karya buku maupun fatwa. Murid-murid Imam Syafi’i yang seringkali meriwayatkan qaul jadidnya ini di antaranya adalah: al-Buwaithi, al-Muzani dan ar-Rabi’ al-Muradi.
4. Al-Wujuh atau al-Aujuh, maksudnya adalah pendapat para ulama Syafi’iyyah berdasarkan kaidah-kaidah dan ushul Imam Syafi’i . Menurut Imam Nawawi, bahwa al-aujuh ini tidak dapat dinisbahkan kepada Imam Syafi’i , lantaran ia hanya pendapat ulama Syafi’i yyah saja.
5. At-Thuruq adalah istilah untuk perbedaan pendapat para ulama Syafi’iyyah dalam meriwayatkan madzhabnya. Misalnya, apabila dalam satu masalah, menurut satu ulama Syafi’iyyah, dalam masalah ini ada dua pendapat, sementara menurut ulama yang lain, hanya ada satu pendapat, menurut yang lainnya ada beberapa aujuh dan lainnya, maka perbedaan tersebut disebut dengan ath-thuruq.
6. Al-Adhhar, adalah pendapat yang paling rajih dari dua atau beberapa pendapat Imam Syafi’i .Jadi al-adhhar digunakan manakala ada dua atau beberapa pendapat Imam Syafi’i yang sama-sama kuatnya dari segi kekuatan dalilnya, akan tetapi salah satunya dapat ditarjih sehingga dipandang sebagai lebih kuat dari yang lainnya. Pendapat Imam Syafi’i yang dipandang lebih kuat ini disebut dengan al-adzhar, sedangkan pendapat sebaliknya yang tidak kuat disebut dengan ad-dhahir.
7. Al-Masyhur adalah apabila terjadi perbedaan antara dua pendapat atau lebih dari Imam Syafi’i, hanya saja perbedaan pendapatnya ini tidak kuat, lemah, karena dari segi kekuatan dalilnya kurang memenuhi misalnya, lalu dari beberapa pendapat tersebut ada yang dipandang lebih kuat, maka yang lebih kuat, rajihnya ini disebut dengan al-masyhur. Sebaliknya, pendapat yang tidak kuatnya disebut dengan al-gharib.
8. Al-Ashah. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat ulama Syafi’iyyah (al-aujuh), dan kedua pendapat yang bertentangan tersebut sama-sama kuat dari segi dalilnya, maka pendapat yang dipandang lebih rajih disebut dengan al-ashah. Sedangkan pendapat ulama Syafi’i yyah yang tidak kuatnya disebut dengan ash-shahih.
9. Ash-Shahih. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat ulama Syafi’i yyah (al-aujuh), namun kedua pendapat tersebut lemah dari segi kekuatan dalilnya, maka pendapat yang dipandang paling rajih disebut dengan ash-shahih, sementara sebaliknya, pendapat yang lemahnya disebut dengan adh-dha’if atau al-fasid.
10. Al-Madzhab. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara para ulama Syafi’iyyah dalam meriwayatkan madzhab Syafi’i (ath-thuruq), namun salah satunya dipandang sebagai yang lebih kuat, maka yang dipandang lebih kuat tersebut disebut dengan al-madzhab.
11. Al-Asybah. Apabila dalam satu masalah ada dua hokum yang didasarkan kepada Qiyas, akan tetapi salah satunya illatnya lebih kuat dari pada yang lain, maka yang lebih kuat illatnya ini disebut dengan al-asybah.
12. An-Nash adalah pendapat yang diambil langsung dari buku-buku karya Imam Syafi’i. Kebalikan dari an-nash adalah al-mukharraj. Al-Mukharraj adalah pendapat yang bukan dari Imam Syafi’i akan tetapi dari ulama Syafi’iyyah.
13. Al-Ashhab adalah para fuqaha Syafi’iyyah yang ilmunya sangat dalam dan luas sehingga mereka dapat beristinbath sendiri dalam hokum-hukum fiqih namun tetap berpegang kepada ushul Imam Syafi’i .

.
Beberapa istilah ulama Syafi’i yyah

Dalam buku-buku Syafi’iyyah, selain istilah-istilah fiqh, juga seringkali didapatkan laqab bagi para ulamanya. Hal ini tentu dimaksudkan selain untuk memudahkan, juga untuk menunjukkan penghormatan dan kedudukan ulama tersebut di kalangan madzhab Syafi’i . Di antara istilah-istilah ulama Syafi’i yyah dimaksud adalah:

1. Al-Imam. Apabila didapatkan kata al-Imam, maka maksudnya adalah Imam Haramain al-Juwaini (w 478 H)
2. Al-Qadhi, maksudnya adalah al-Qadhi Husain (w 462 H)
3. Al-Qadiyain maksudnya adalah Imam ar-Ruwiyani (w 502 H) dan Al-Mawardi (w 450).
4. Ar-Rabi’, maksudnya adalah ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, murid Imam Syafi’i (w 270 H).
5. Asy-Syarih al-Muhaqiq, maksudnya adalah Jalaluddin al-Mahally (w 864 H)
6. Asy-Syaikhaini, maksudnya adalah Imam an-Nawawi (w 676 H) dan Imam ar-Rafi’i (w 623 H)
7. Asy-Syuyukh, maksudnya adalah Imam Nawawi, Imam Rafi’i dan Taqiyuddin as-Subuki (w 756)
8. Apabila al-Khatib asy-Syarbini (w 977 H) dan Syamsuddin ar-Ramli (w 1004 H) dalam karya-karyanya mengatakan Syaikhul Islam, maka maksudnya adalah Imam Zakaria al-Anshari (w 926 H). Namun, apabila al-Khatib asy-Syarbini berkata Syaikhii, maksudnya adalah Syihabuddin ar-Ramli (w 957)
9. Apabila Imam Nawawi dalam bukunya al-Majmu’ berkata al-Qaffal, maksudnya adalah Imam al-Maruzi (w 417 H).
10. Apabila dalam kitab al-Muhadzab disebutkan istilah Abu Hamid, maka maksudnya adalah dua orang ulama yakni al-Qadhi Abu Hamid al-Maruzi Ahmad bin Basyar bin Amir (w 362 H) dan asy-Syaikh Abu Hamid al-Isfarayaini Ahmad bin Muhammad (w 406 H).

.
Buku-buku yang membahas istilah-istilah fiqh Syafi’i dan laqab, kunyah ulama Syafi’iyyah

Di antara buku-buku yang merupakan ma’ajim al-musthalahat al-fiqhiyyah dalam madzhab Syafi’i adalah:
1. Kitab Gharib al-Alfadz Allatis Ta’malaha al-Fuqaha karya asy-Syaikh Muhammad bin Ahmad bin al-Azhar al-Hirawy Abi Mansur (w 370 H). Buku ini membahas maksud dari istilah-istilah sulit yang sering digunakan oleh para Fuqaha.

2. Tahdzib al-Asma wal Lughat, karya Imam Abu Zakariya Muhyiyud Din bin Syaraf an-Nawawi (w 676 H). Buku ini menjelaskan istilah-istilah fiqh Syafi’i yang terdapat dalam enam buku fiqh Madzhab Syafi’i yakni Mukhtashar al-Muzani, al-Muhadzab, at-Tanbih, al-Wasith, al-Wajiz dan ar-Raudhah.

3. Al-Mishbah al-Munir fi Gharib asy-Syarh al-Kabir lir-Rafi’i, karya Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayumi (w 770 H).

.

Walahu a’lam.

Multiple Intelligence with Howard Gardner

howard gardner, multiple intelligences and education

Howard Gardner's work around multiple intelligences has had a profound impact on thinking and practice in education - especially in the United States. Here we explore the theory of multiple intelligences; why it has found a ready audience amongst educationalists; and some of the issues around its conceptualization and realization.

picture: howard gardner 2004, taken by Esthr/posted as public at flickrI want my children to understand the world, but not just because the world is fascinating and the human mind is curious. I want them to understand it so that they will be positioned to make it a better place. Knowledge is not the same as morality, but we need to understand if we are to avoid past mistakes and move in productive directions. An important part of that understanding is knowing who we are and what we can do... Ultimately, we must synthesize our understandings for ourselves. The performance of understanding that try matters are the ones we carry out as human beings in an imperfect world which we can affect for good or for ill. (Howard Gardner 1999: 180-181)

Howard Earl Gardner's (1943- ) work has been marked by a desire not to just describe the world but to help to create the conditions to change it. The scale of Howard Gardner's contribution can be gauged from following comments in his introduction to the tenth anniversary edition of his classic work Frames of Mind. The theory of multiple intelligences:

In the heyday of the psychometric and behaviorist eras, it was generally believed that intelligence was a single entity that was inherited; and that human beings - initially a blank slate - could be trained to learn anything, provided that it was presented in an appropriate way. Nowadays an increasing number of researchers believe precisely the opposite; that there exists a multitude of intelligences, quite independent of each other; that each intelligence has its own strengths and constraints; that the mind is far from unencumbered at birth; and that it is unexpectedly difficult to teach things that go against early 'naive' theories of that challenge the natural lines of force within an intelligence and its matching domains. (Gardner 1993: xxiii)

One of the main impetuses for this movement has been Howard Gardner's work. He has been, in Smith and Smith's (1994) terms, a paradigm shifter. Howard Gardner has questioned the idea that intelligence is a single entity, that it results from a single factor, and that it can be measured simply via IQ tests. He has also challenged the cognitive development work of Piaget. Bringing forward evidence to show that at any one time a child may be at very different stages for example, in number development and spatial/visual maturation, Howard Gardner has successfully undermined the idea that knowledge at any one particular developmental stage hangs together in a structured whole.

In this article we explore Howard Gardner's contribution and the use to which it has been put by educators.

Howard Gardner - a life

Howard Gardner was born in Scranton, Pennsylvania in 1943. His parents had fled from Nürnberg in Germany in 1938 with their three-year old son, Eric. Just prior to Howard Gardner's birth Eric was killed in a sleighing accident. These two events were not discussed during Gardner's childhood, but were to have a very significant impact upon his thinking and development (Gardner 1989: 22). The opportunities for risky physical activity were limited, and creative and intellectual pursuits encouraged. As Howard began to discover the family's 'secret history' (and Jewish identity) he started to recognize that he was different both from his parents and from his peers.

His parents wanted to send Howard to Phillips Academy in Andover Massachusetts - but he refused. Instead he went to a nearby preparatory school in Kingston, Pennsylvania (Wyoming Seminary). Howard Gardner appears to have embraced the opportunities there - and to have elicited the support and interest of some very able teachers. From there he went to Harvard University to study history in readiness for a career in the law. However, he was lucky enough to have Eric Erikson as a tutor. In Howard Gardner's words Erikson probably 'sealed' his ambition to be a scholar (1989: 23). But there were others:

My mind was really opened when I went to Harvard College and had the opportunity to study under individuals—such as psychoanalyst Erik Erikson, sociologist David Riesman, and cognitive psychologist Jerome Bruner—who were creating knowledge about human beings. That helped set me on the course of investigating human nature, particularly how human beings think. (Howard Gardner quoted by Marge Sherer 1999)

Howard Gardner's interest in psychology and the social sciences grew (his senior thesis was on a new California retirement community) and he graduated summa cum laude in 1965.

Howard Gardner then went to work for a brief period with Jerome Bruner on the famous MACOS Project ('Man: A course of study'). Bruner's work, especially in The Process of Education (1960) was to make a profound impact, and the questions that the programme asked were to find an echo in Gardner's subsequent interests. During this time he began to read the work of Claude Levi-Strauss and Jean Piaget in more detail. He entered Harvard's doctoral programme in 1966, and in the following year became part of the Project Zero research team on arts education (with which he has remained involved to the present). Howard Gardner completed his PhD in 1971 (his dissertation was on style sensitivity in children). He remained at Harvard. Alongside his work with Project Zero (he now co-directs it with David Perkins) he was a lecturer (1971-1986) and then professor in education (1986- ). His first major book, The Shattered Mind appeared in 1975 and some fifteen have followed. Howard Gardner is currently Hobbs Professor of Cognition and Education at the Harvard Graduate School of Education and adjunct professor of neurology at the Boston University School of Medicine.

Project Zero provided an environment in which Howard Gardner could begin to explore his interest in human cognition. He proceeded in a very different direction to the dominant discourses associated with Piaget and with psychometric testing. Project Zero developed as a major research centre for education - and provided an intellectual home for a significant grouping of researchers. A key moment came with the establishment of the Project on Human Potential in the late 1970s (funded by Bernard van Leer Foundation) to 'assess the state of scientific knowledge concerning human potential and its realization'. The result was Frames of Mind (1983) Howard Gardner's first full-length statement of his theory of multiple intelligences.

Howard Gardner on multiple intelligences - the initial listing

Howard Gardner viewed intelligence as 'the capacity to solve problems or to fashion products that are valued in one or more cultural setting' (Gardner & Hatch, 1989). He reviewed the literature using eight criteria or 'signs' of an intelligence:
Potential isolation by brain damage.

The existence of idiots savants, prodigies and other exceptional individuals.

An identifiable core operation or set of operations.

A distinctive development history, along with a definable set of 'end-state' performances.

An evolutionary history and evolutionary plausibility.

Support from experimental psychological tasks.

Support from psychometric findings.

Susceptibility to encoding in a symbol system. (Howard Gardner 1983: 62-69)

Candidates for the title 'an intelligence' had to satisfy a range of these criteria and must include, as a prerequisite, the ability to resolve 'genuine problems or difficulties' (ibid.: 60) within certain cultural settings. Making judgements about this was, however, 'reminiscent more of an artistic judgement than of a scientific assessment' (ibid.: 62).

Howard Gardner initially formulated a list of seven intelligences. His listing was provisional. The first two have been typically valued in schools; the next three are usually associated with the arts; and the final two are what Howard Gardner called 'personal intelligences' (Gardner 1999: 41-43).

Linguistic intelligence involves sensitivity to spoken and written language, the ability to learn languages, and the capacity to use language to accomplish certain goals. This intelligence includes the ability to effectively use language to express oneself rhetorically or poetically; and language as a means to remember information. Writers, poets, lawyers and speakers are among those that Howard Gardner sees as having high linguistic intelligence.

Logical-mathematical intelligence consists of the capacity to analyze problems logically, carry out mathematical operations, and investigate issues scientifically. In Howard Gardner's words, it entails the ability to detect patterns, reason deductively and think logically. This intelligence is most often associated with scientific and mathematical thinking.

Musical intelligence involves skill in the performance, composition, and appreciation of musical patterns. It encompasses the capacity to recognize and compose musical pitches, tones, and rhythms. According to Howard Gardner musical intelligence runs in an almost structural parallel to linguistic intelligence.

Bodily-kinesthetic intelligence entails the potential of using one's whole body or parts of the body to solve problems. It is the ability to use mental abilities to coordinate bodily movements. Howard Gardner sees mental and physical activity as related.

Spatial intelligence involves the potential to recognize and use the patterns of wide space and more confined areas.

Interpersonal intelligence is concerned with the capacity to understand the intentions, motivations and desires of other people. It allows people to work effectively with others. Educators, salespeople, religious and political leaders and counsellors all need a well-developed interpersonal intelligence.

Intrapersonal intelligence entails the capacity to understand oneself, to appreciate one's feelings, fears and motivations. In Howard Gardner's view it involves having an effective working model of ourselves, and to be able to use such information to regulate our lives.

In Frames of Mind Howard Gardner treated the personal intelligences 'as a piece'. Because of their close association in most cultures, they are often linked together. However, he still argues that it makes sense to think of two forms of personal intelligence. Gardner claimed that the seven intelligences rarely operate independently. They are used at the same time and tend to complement each other as people develop skills or solve problems.

In essence Howard Gardner argued that he was making two essential claims about multiple intelligences. That:

The theory is an account of human cognition in its fullness. The intelligences provided 'a new definition of human nature, cognitively speaking' (Gardner 1999: 44). Human beings are organisms who possess a basic set of intelligences.

People have a unique blend of intelligences. Howard Gardner argues that the big challenge facing the deployment of human resources 'is how to best take advantage of the uniqueness conferred on us as a species exhibiting several intelligences' (ibid.: 45).

These intelligences, according to Howard Gardner, are amoral - they can be put to constructive or destructive use.

The appeal of multiple intelligences to educators

Howard Gardner's theory of multiple intelligences has not been readily accepted within academic psychology. However, it has met with a strongly positive response from many educators. It has been embraced by a range of educational theorists and, significantly, applied by teachers and policymakers to the problems of schooling. A number of schools in North America have looked to structure curricula according to the intelligences, and to design classrooms and even whole schools to reflect the understandings that Howard Gardner develops. The theory can also be found in use within pre-school, higher, vocational and adult education initiatives.

This appeal was not, at first, obvious.

At first blush, this diagnosis would appear to sound a death knell for formal education. It is hard to teach one intelligence; what if there are seven? It is hard to enough to teach even when anything can be taught; what to do if there are distinct limits and strong constraints on human cognition and learning? (Howard Gardner 1993: xxiii)

Howard Gardner responds to his questions by first making the point that psychology does not directly dictate education, 'it merely helps one to understand the conditions within which education takes place'. What is more:

Seven kinds of intelligence would allow seven ways to teach, rather than one. And powerful constraints that exist in the mind can be mobilized to introduce a particular concept (or whole system of thinking) in a way that children are most likely to learn it and least likely to distort it. Paradoxically, constraints can be suggestive and ultimately freeing. (op. cit.)

Mindy L. Kornhaber (2001: 276), a researcher involved with Project Zero, has identified a number of reasons why teachers and policymakers in North America have responded positively to Howard Gardner's presentation of multiple intelligences. Among these are that:

... the theory validates educators' everyday experience: students think and learn in many different ways. It also provides educators with a conceptual framework for organizing and reflecting on curriculum assessment and pedagogical practices. In turn, this reflection has led many educators to develop new approaches that might better meet the needs of the range of learners in their classrooms.

The response to Howard Gardner is paralleled by the adoption of Kolb's model of experiential learning by adult and informal educators. While significant criticism can be made of the formulation (see below) it does provide a useful set of questions and 'rules of thumb' to help educators to think about their practice. The way in which Howard Gardner's theory of multiple intelligences has been translated into policy and practice has been very varied. Howard Gardner did not, initially, spell out the implications of his theory for educators in any detail. Subsequently, he has looked more closely at what the theory might mean for schooling practice (e.g. in The Unschooled Mind, Intelligence Reframed, and The Disciplined Mind). From this work three particular aspects of Gardner's thinking need noting here as they allow for hope, and an alternative way of thinking, for those educators who feel out of step with the current, dominant product orientation to curriculum and educational policy. The approach entails:

A broad vision of education. All seven intelligences are needed to live life well. Teachers, therefore, need to attend to all intelligences, not just the first two that have been their tradition concern. As Kornhaber (2001: 276) has noted it involves educators opting 'for depth over breadth'. Understanding entails taking knowledge gained in one setting and using it in another. 'Students must have extended opportunities to work on a topic' (op. cit.).

Developing local and flexible programmes. Howard Gardner's interest in 'deep understanding', performance, exploration and creativity are not easily accommodated within an orientation to the 'delivery' of a detailed curriculum planned outside of the immediate educational context. 'An "MI setting" can be undone if the curriculum is too rigid or if there is but a single form of assessment' (Gardner 1999: 147). In this respect the educational implications of Howard Gardner's work stands in a direct line from the work of John Dewey.

Looking to morality. 'We must figure out how intelligence and morality can work together', Howard Gardner argues, 'to create a world in which a great variety of people will want to live' (Gardner 1999: 4). While there are considerable benefits to developing understanding in relation to the disciplines, something more is needed.

Are there additional intelligences?

Since Howard Gardner's original listing of the intelligences in Frames of Mind (1983) there has been a great deal of discussion as to other possible candidates for inclusion (or candidates for exclusion). Subsequent research and reflection by Howard Gardner and his colleagues has looked to three particular possibilities: a naturalist intelligence, a spiritual intelligence and an existential intelligence. He has concluded that the first of these 'merits addition to the list of the original seven intelligences' (Gardner 1999: 52).

Naturalist intelligence enables human beings to recognize, categorize and draw upon certain features of the environment. It 'combines a description of the core ability with a characterization of the role that many cultures value' (ibid.: 48).

The case for inclusion of naturalist intelligence appears pretty straightforward, the position with regard to spiritual intelligence is far more complex. According to Howard Gardner (1999: 59) there are problems, for example, around the 'content' of spiritual intelligence, its privileged but unsubstantiated claims with regard to truth value, 'and the need for it to be partially identified through its effect on other people'. As a result:

It seems more responsible to carve out that area of spirituality closest 'in spirit' to the other intelligences and then, in the sympathetic manner applied to naturalist intelligence, ascertain how this candidate intelligence fares. In doing so, I think it best to put aside the term spiritual, with its manifest and problematic connotations, and to speak instead of an intelligence that explores the nature of existence in its multifarious guises. Thus, an explicit concern with spiritual or religious matters would be one variety - often the most important variety - of an existential intelligence.

Existential intelligence, a concern with 'ultimate issues', is, thus, the next possibility that Howard Gardner considers - and he argues that it 'scores reasonably well on the criteria' (ibid.: 64). However, empirical evidence is sparse - and although a ninth intelligence might be attractive, Howard Gardner is not disposed to add it to the list. 'I find the phenomenon perplexing enough and the distance from the other intelligences vast enough to dictate prudence - at least for now' (ibid.: 66).

The final, and obvious, candidate for inclusion in Howard Gardner's list is moral intelligence. In his exploration, he begins by asking whether it is possible to delineate the 'moral domain'. He suggests that it is difficult to come to any consensual definition, but argues that it is possible to come to an understanding that takes exploration forward. Central to a moral domain, Howard Gardner suggests, 'is a concern with those rules, behaviours and attitudes that govern the sanctity of life - in particular, the sanctity of human life and, in many cases, the sanctity of any other living creatures and the world they inhabit' (ibid.: 70). If we accept the existence of a moral realm is it then possible to speak of moral intelligence? If it 'connotes the adoption of any specific moral code' then Howard Gardner does not find the term moral intelligence acceptable (ibid.: 75). Furthermore, he argues, researchers and writers have not as yet 'captured the essence of the moral domain as an instance of human intelligence' (ibid.: 76).

As I construe it, the central component in the moral realm or domain is a sense of personal agency and personal stake, a realization that one has an irreducible role with respect to other people and that one's behaviour towards others must reflect the results of contextualized analysis and the exercise of one's will.... The fulfilment of key roles certainly requires a range of human intelligences - including personal, linguistic, logical and perhaps existential - but it is fundamentally a statement about the kind of person that has developed to be. It is not, in itself, an intelligence. 'Morality' is then properly a statement about personality, individuality, will, character - and, in the happiest cases, about the highest realization of human nature. (ibid.: 77)

So it is, that Howard Gardner has added an eighth intelligence - naturalist intelligence - to his list. He has also opened the door to another possibility - especially that of existential intelligence - but the court is out on that one.

Howard Gardner's multiple intelligences - some issues and problems

There are various criticisms of, and problems around, Howard Gardner's conceptualization of multiple intelligences. Indeed, Gardner himself has listed some of the main issues and his responses (1993: xxiii-xxvii; 1999: 79-114). Here, I want to focus on three key questions that have been raised in debates. (There are plenty of other questions around - but these would seem to be the most persistent):

Are the criteria Howard Gardner employs adequate? John White (1997) has argued that there are significant issues around the criteria that Howard Gardner employs. There are questions around the individual criteria, for example, do all intelligences involve symbol systems; how the criteria to be applied; and why these particular criteria are relevant. In respect of the last, and fundamental question, White states that he has not been able to find any answer in Gardner's writings (ibid.: 19). Indeed, Howard Gardner himself has admitted that there is an element of subjective judgement involved.

Does Howard Gardner's conceptualization of intelligence hold together? For those researchers and scholars who have traditionally viewed intelligence as, effectively, what is measured by intelligence tests - Howard Gardner's work will always be problematic. They can still point to a substantial tradition of research that demonstrates correlation between different abilities and argue for the existence of a general intelligence factor. Howard Gardner (1993: xxiv) disputes much of the evidence and argues that it is not possible, as yet, to know how far intelligences actually correlate. More recent developments in thinking around intelligence such as Robert Sternberg's (1985, 1996) advancement of a 'triarchic model' have shared Gardner's dislike of such standard intelligence theory. However, in contrast to Howard Gardner, Robert Sternberg does not look strongly at the particular material that the person is processing. Instead he looks to what he calls the componential, experiential and contextual facets of intelligence. A further set of criticisms centre around the specific intelligences that Howard Gardner identified. For example, it can be argued that musical intelligence and bodily-kinesthetic intelligence are better approached as talents (they do not normally need to adapt to life demands).

Is there sufficient empirical evidence to support Howard Gardner's conceptualization? A common criticism made of Howard Gardner's work is that his theories derive rather more strongly from his own intuitions and reasoning than from a comprehensive and full grounding in empirical research. For the moment there is not a properly worked-through set of tests to identify and measure the different intelligences.

I once thought it possible to create a set of tests of each intelligence - an intelligence-fair version to be sure - and then simply to determine the correlation between the scores on the several tests. I now believe that this can only be accomplished if someone developed several measures for each intelligence and then made sure that people were comfortable in dealing with the materials and methods used to measure each intelligence. (Gardner 1999: 98)

Howard Gardner himself has not pursued this approach because of a more general worry with such testing - that it leads to labelling and stigmatization. It can be argued that research around the functioning of the brain generally continues to support the notion of multiple intelligence (although not necessarily the specifics of Howard Gardner's theory).

There are further questions around the notion of selfhood that Howard Gardner employs - something that he himself has come to recognize. In the early 1990s he began to look to the notion of distributed cognition as providing a better way of approaching the area than focusing on what goes on in the mind of a single individual (Hatch and Gardner 1993) (see the discussion of social/situational orientations to learning).

Conclusion

While there may be some significant questions and issues around Howard Gardner's notion of multiple intelligences, it still has had utility in education. It has helped a significant number of educators to question their work and to encourage them to look beyond the narrow confines of the dominant discourses of skilling, curriculum, and testing. For example, Mindy Kornhaber and her colleagues at the Project SUMIT (Schools Using Multiple Intelligences Theory) have examined the performance of a number of schools and concluded that there have been significant gains in respect of SATs scores, parental participation, and discipline (with the schools themselves attributing this to MI theory). To the extent that Howard Gardner's multiple intelligences theory has helped educators to reflect on their practice, and given them a basis to broaden their focus and to attend to what might assist people to live their lives well, then it has to be judged a useful addition.

Project SUMIT (2000) uses the metaphor of Compass Points -'routes that educators using the theory have taken and which appear to benefit students'. They have identified the following markers that characterize schools with some success in implementing practices that attend to multiple intelligences theory.

Culture: support for diverse learners and hard work. Acting on a value system which maintains that diverse students can learn and succeed, that learning is exciting, and that hard work by teachers is necessary.

Readiness: awareness-building for implementing MI. Building staff awareness of MI and of the different ways that students learn.

Tool: MI is a means to foster high quality work. Using MI as a tool to promote high quality student work rather than using the theory as an end in and of itself.

Collaboration: informal and formal exchanges. Sharing ideas and constructive suggestions by the staff in formal and informal exchanges.

Choice: meaningful curriculum and assessment options. Embedding curriculum and assessment in activities that are valued both by students and the wider culture.

Arts. Employing the arts to develop children's skills and understanding within and across disciplines.

Informal educators can usefully look at this listing in respect of their projects and agencies. The multiple intelligences themselves also provide a good focus for reflection. Arguably, informal educators have traditionally been concerned with the domains of the interpersonal and the intrapersonal, with a sprinkling of the intelligences that Howard Gardner identifies with the arts. Looking to naturalist linguistic and logical-mathematical intelligences could help enhance their practice.