Selasa, 23 Desember 2008

Fanatik Tanpa Ekstrem

BERAGAMA YANG FANATIK TANPA SIKAP EKSTREM

Beragama yang fanatik tanpa sikap ekstrem dipandang dari sudut kehidupan bernegara merupakan sikap yang ideal dan sekaligus tantangan, terutama bagi para tokoh agama. Untuk mewujudkan beragama yang fanatik dan tidak ekstrem adalah tugas yang tidak mudah karena realitas umat beragama yang fanatik cenderung diiringi dengan sikap ekstrem dan ekslusiv, atau sebaliknya tidak fanatik dan tidak pula ekstrem. Di samping itu, persoalan tidak hanya karena fanatik dan bukan fanatik yang menimbulkan sikap ekstremitas, tetapi banyak faktor yang lebih dominan, antara lain ideologisasi agama, komunalisme, ketidakadilan, ketimpangan global, ketertindasan, dan keterbelakangan. Kemudian bukan penganut agama saja yang bertindak ekstrem, aparat keamanan dan pemerintah yang kebablasan dan kejahatan yang terorganisir juga dapat dicap ekstremis.

Setidaknya variabel ‘fanatik’ dan ‘ekstrem’ dapat dianalisis dalam empat kelompok, pertama fanatik tidak ekstrem, kedua fanatik yang ekstrem, ketiga tidak fanatik tapi ekstrem, keempat tidak fanatik dan tidak ekstrem. Setiap kelompok tersebut tentu memiliki penganutnya dalam setiap agama kendati bukan dalam jumlah yang sama. Fanatik yang tidak ekstrem dianut oleh kalangan penganut agama yang berwawasan luas, yang biasanya adalah dari kalangan intelektual. Fokus pembahasan paper ini adalah pada beragama yang fanatik tanpa sikap ekstrem dan usaha-usaha untuk mewujudkannya.

Adapun kelompok fanatik yang diiringi sikap ekstrem dianut oleh kalangan yang berpikir literalis, yang memahami agama adalah sesuatu yang sempurna dan harus diimplementasikan secara apa adanya kepada umat kalau perlu dengan jalan kekerasan. Kelompok tidak fanatik tapi ekstrem juga ada dan kadangkala lebih radikal dibandingkan dengan yang bukan fanatik. Umpamanya, kalangan penganut yang tidak begitu taat beribadat, tetapi jika agamanya digugat, maka dia yang paling dahulu menentang. Mungkin yang paling banyak dianut adalah yang tidak fanatik dan juga tidak ekstrem. Kelompok terakhir inilah yang sering tenggelam dalam tindakan minoritas umat beragama yang cenderung fanatik dan sekaligus ekstrem.

Maksud fanatik dalam paper ini adalah sikap beragama yang saleh dan taat dalam menjalankan ibadah, yang termanifestasi dalam kehidupan individu maupun sosial. Kata ekstrem sebenarnya juga dapat semakna dengan fanatik dari satu segi dan berbeda dari segi yang lain. Sikap yang amat fanatik dan tidak memiliki wawasan yang luas dapat juga dikatakan ekstrem dan sebaliknya, yakni sikap yang terlalu bebas, sehingga tidak lagi terikat dengan ajaran agama. Adapun ekstrem dalam hal ini adalah sikap beragama yang lebih literal, cenderung ideologis dan bersikap keras.[1]

Beragama yang fanatik tanpa sikap ekstrem, yang diharapkan adalah para penganut agama tetap berpegang pada ajaran dan taat menjalankan ritual masing-masing dan pada waktu yang bersamaan mereka dituntut tidak membawa simbol-simbol teologis yang sangat ekslusiv pada tataran pegaulan yang lebih luas untuk menghindari bentrokan antar simbol dan identitas agama. Bentrokan antar simbol dan identitas merupakan persoalan yang selama ini sulit diselesaikan karena setiap agama, terutama setelah ditinggal oleh pendirinya, cenderung menjadi identitas diri dan kelompok. Identitas ini lama kelamaan mengkristal dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari diri dan kelompok, sehingga muncul sikap sikap yang ekslusiv dan cenderung ekstrem dan keras.

Sikap ekslusiv ini pada akhirnya dapat menjurus pada semangat komunalisme agama dan ideologisasi agama, sehingga yang muncul ke permukaan bukan agama yang sebenarnya, tetapi adalah agama yang sudah terbungkus oleh ideologi partai politik dan etnik tertentu. Kenyataan ini oleh para pengkritik agama merupakan persoalan yang dihadapi oleh agama karena agama yang membawa misi ideal, seperti perdamaian dan cinta kasih serta rahmat bagi seluruh alam, ternyata gagal pada tataran empiris.

Komunalisme agama di Indonesia juga tidak dapat dihindarkan, sehingga agama menjadi identik dengan etnis tertentu, seperti etnis Melayu identik dengan Islam. Menjadi Melayu berarti menjadi penganut Islam; dan menjadi Islam berarti sekaligus menjadi Melayu. Sebaliknya, keluar dari Melayu berarti keluar dari Islam. Dalam hal ini suku Melayu di Kalimantan, salah satu yang membedakannya dengan Dayak adalah agama; Melayu adalah Islam, sedangkan Dayak adalah Katholik. Begitu juga etnis-etnis lain di nusantara, seperti Batak identik dengan Kristen, dan Bali identik dengan Hindu.[2]

Dari kenyataan di atas, dapat mendorong orang untuk mempersoalkan apakah komunalisme keagamaan memiliki dasar doktrinal dan konseptual dalam agama masing-masing. Agama apapun tentu mengandung unsur dakwah, yaitu anjuran untuk menyebarkan agama masing-masing kepada umat manusia di permukaan bumi, terlepas dari latar belakang etnis, kultur, adat istiadat, sistem sosial, dan tradisinya, walaupun kemudian disitingsi kepemelukan agama yang berkaitan dengan dengan latar belakang etnis tidak dapat dihindari. Akibatnya, terciptanya identifikasi agama dan peradabannya dengan sistem kultural dan etnis tertentu.

Identifikasi agama pada etnis tertentu, di samping memperkaya khazanah variasi keberagamaan, dapat menimbulkan sikap ekstrem bagi penganutnya, sehingga yang tercipta adalah agama harus dipahami lewat etnis. Saya dan beberapa dosen UIN Jakarta melakukan penelitian di Sambas bekerja sama dengan Departemen Sosial mendapatkan keterangan bahwa salah satu faktor kerusuhan di Sambas adalah sikap ekslusiv masyarakat Madura dalam beribadah dan prilaku sosial. Mereka hanya mengikuti petunjuk ustaz yang etnis Madura dan tidak mau mendengarkan ustaz dari etnis lain, bahkan mereka tidak mau menjalankan aturan yang dibuat oleh pemerintah setempat.[3]

Tentu saja sikap suku Melayu di Sambas tidak jauh berbeda dengan sikap Madura. Mereka juga fanatik beragama dan ekslusiv dan selalu penuh curiga bahkan iri dengan kemajuan dan kerja keras yang dicapai oleh sebagian besar warga Madura. Suku Madura dianggap sebagai ancaman bagi suku Melayu, sehingga semangat komunalisme inilah yang memicu munculnya permusuhan dan konflik antara kedua suku tersebut. Padahal agama mereka sama, yakni Islam dan mayoritas, baik suku Melayu maupun Madura fanatik beragama.

Kenyataan ini mengindikasikan, akomodasi agama dalam wilayah atau suku tertentu tidak sama satu sama lainnya. Begitu juga sebaliknya pengaruh budaya lokal terhadap agama tentu tidak dapat dihindarkan. Maka, interaksi atau tarik menarik antara agama dan budaya lokal adalah suatu yang “wajar” dalam proses akulturasi. Namun, di sisi lain apakah budaya itu akan mempersempit wawasan keagamaan atau sebalik. Persoalan berikutnya adalah sejauh mana pengaruh agama terhadap masyarakat dan budaya lokal dan sebaliknya apakah budaya lokal memberi warna terhadap agama dan bagaimana memahami realitas tersebut. Di sisi lain, perubahan sosial pada era modern, terutama era globalisasi dengan kemajuan teknologi komunikasi semakin cepat dan kompleks, sehingga menuntut akomodasi baru yang jauh lebih rumit dibandingkan ketika agama berhadapan dengan budaya lokal. Karena itu, bagaimana bentuk akomodasi agama dalam perubahan sosial tersebut?

Agama mengandung simbol-simbol sistem sosio-kultural yang memberikan suatu konsepsi tentang realitas dan usaha untuk mewujudkannya. Namun, simbol-simbol yang menyangkut realitas ini tidak selalu harus sama dengan realitas yang terwujud secara riil dalam kehidupan masyarakat. Dalam agama mana pun, konsepsi manusia tentang realitas tidaklah bersumber dari pengetahuan, tetapi dari kepercayaan kepada suatu otoritas mutlak yang berbeda dari suatu agama dengan agama yang lainnya. Di dalam Agama, dengan demikian, konsepsi realitas berasal dari Kitab Suci. Konsepsi dasar realitas yang diberikan kedua sumber ini dipandang absolut, karenanya transenden dari realitas sosial.

Namun, Agama juga merupakan suatu realitas sosial, yang ia hidup dan termanifestasikan dalam masyarakat. Di sini Agama yang memiliki konsepsi tentang realitas absolut harus berhadapan dengan realitas sosial yang selalu berubah. Dengan demikian, Kitab Suci yang diyakini umat beragama sebagi kebenaran final yang tidak dapat diubah dan berlaku untuk segala waktu dan tempat berbenturan dengan kenyataan sosial yang selalu berubah tadi. Agama di satu sisi berhadapan dengan tradisi lokal, yang tentunya menuntut Agama mengakomodasi budaya tersebut. Di sisi lain, Agama berhadapan dengan realitas modernisasi yang mengalami perubahan yang sangat cepat, yang sekaligus juga menuntut perubahan.[4]

Sepanjang sejarah sejak masa-masa awal sudah tejadi semacam ketegangan antara doktrin teologis Agama dengan realitas sosial. Namun, dalam tataran praktis, Agama “terpaksa” mengakomodasi budaya lokal ketika doktrin al-Qur’an tentang fikih umpamanya dirinci. Pada saat itu pulalah para ahli fikih terpaksa mempertimbangkan faktor-faktor sosial budaya -betapa pun kecilnya. Karena itulah tercipta perbedaan-perbedaan antara para imam mazhab, bahkan Imam Syafi’i mengeluarkan pendapat yang berbeda ketika ketika berada di Mesir dan di Irak.[5]

Di Indonesia, khususnya di Sumatra Barat, ketegangan ini juga terjadi seperti pembagian harta waris. Menurut adat harta waris diturunkan kepada keponakan, sedangkan menurut Agama kepada anak dengan ketentuan anak laki-laki dua kali anak perempuan. Buya Hamka awalnya mengecam hukum adat tersebut karena bertentangan dengan hukum Islam, tetapi akhirnya dia berpendapat bahwa hukum yang diperoleh dari suami istri, harus diwariskan sesuai dengan hukum Islam, tetapi harta waris “lama” (pusako) tetap menurut adat.

Dalam konteks kekinian, variasi itu semakin banyak dan cenderung bebas seiring dengan perkembangan dan perubahan sosial yang begitu cepat. Katakanlah pandangan Munawir Syadali, mantan menteri Agama RI, yang mengatakan bahwa harta waris dibagi rata antara anak perempuan dan anak laki-laki karena anak laki-laki sudah mendapat perolehan harta lebih banyak daripada perempuan untuk biaya sekolah sampai jenjang tertinggi, sedangkan perempuan lebih cepat menikah.

Di sisi lain, ketegangan itu merupakan dinamika yang memuncukan kreativitas. Adanya perbedaan antara realitas absolut dengan realitas yang relativ mendorong para agamawan untuk menafsirkan ayat-ayat dalam Kitab Suci, sehingga kalau kita bandingkan kitab suci yang asli dengan tafsirnya, maka ketebalannya bisa ratusan bahkan ribuan kali lipat dibandingkan dengan kitab suci yang asli. Ini adalah bukti bahwa penyesuaian tetap perlu dilakukan agar realitas absolut tidak menjadi bahan arkeologi. Salah satu contoh yang terbaru di kalangan umat Islam Indonesia adalah Tafsir al-Misbah yang ditulis oleh Prof.Dr. Quraish Shihab, MA.

Dengan demikian dapat dikatakan, realitas adanya Agama sebagai konsepsi absolut dengan Agama sebagai realitas sosial memunculkan setidaknya “dua varian Agama”, yaitu tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition) atau tradisi lokal (local tradition). Tradisi besar tentu saja adalah Agama yang mengandung doktrin orisinal, yang permanen, atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat dengan ajaran dasar Agama, seperti keimanan dan ibadah. Tradisi besar ini sering pula disebut tradisi pusat, yang dikontraskan dengan peri-peri (pinggiran).

Di sisi lain, tradisi kecil adalah kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Agama atau tradisi besar tadi. Adapun yang termasuk pada tradisi kecil ini adalah hajat “kaulan” atau “slametan” dalam masyarakat Muslim Jawa tradisi “balimau” di Sumatra Barat atau “tari Saman” di kalangan masyarakat Aceh.[6]

Karena itu, beberapa ahli tentang Agama mengasumsikan, semakin jauh letak geografis suatu masyarakat Agama dari pusat atau sumber tradisi besar semakin kuat pulalah tradisi kecil. Asumsi ini tidak harus selalu benar. Dengan kata lain, lingkungan masyarakat Arab tentunya tidak harus lebih Islami dibandingkan dengan masyarakat Islam Indonesia. Tradisi menziarahi kuburan dan memohon doa kepada “orang suci (“wali”) tidak hanya terdapat di dunia Melayu, tetapi hampir di seluruh dunia Islam, termasuk di kawasan Arab sekalipun.

Namun, tentu perlu juga diakui, terdapat banyak faktor yang bekerja menjembatani jurang geografis, yang mendorong terciptanya persentuhan dan interaksi antara “kedua bentuk Islam” tadi. Tradisi keilmuan dan lembaga-lembaga pendidikan Islam, keulamaan, transportasi dan komunikasi yang lancar merupakan beberapa faktor terpenting yang mendorong terciptanya kontak dan interaksi.

Di sisi lain, tingkat kedekatan dan keharmonisan antara tradisi besar dengan tradisi kecil dalam beberapa hal tidaklah sama satu sama lain. Ada wilayah yang berhasil mengatasi gap antara tradisi besar dan kecil, tetapi ada juga yang tidak berhasil, sehingga menimbulkan konflik dan sekaligus pembaharuan, seperti revivalisme dan purifikasi. Golongan revivalisme ingin mengembalikan Islam sebagaimana pernah jaya pada era Nabi dan para khalifah. Purifikasi ingin mengembalikan Islam pada ajaran yang absolut.

Para pendukung purifikasi ini relatif lebih menekankan pemahaman agama yang leterlek, sehingga terkesan kaku dan cenderung tidak akomodatif dengan perkembangan sains dan teknologi. Golongan Wahabi adalah contoh yang relevan dalam menampakkan wajah Islam leterlek, puritan, dan menolak sains modern. Mereka lebih menekankan pada ritualitas dan penegakkan ajaran Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi dan sahabat.[7]

Interplay antara tradisi besar dengan tradisi kecil merupakan salah satu sumber dinamika Islam. Dalam dunia modern, interplay ini semakin meningkat intensitasnya, terutama disebabkan kemajuan komunikasi dan teknologi informasi. Namun, dunia modern juga menghadirkan fenomena sosial baru, yang sering menyebabkan akomodasi lama tidak relevan lagi, dan karenanya menuntut suatu bentuk akomodasi baru. Berbeda dengan realitas sosial zaman pertengahan, problem yang muncul di zaman modern jauh lebih kompleks. Karena itu, respons yang muncul juga menjadi beragam, dan akomodasi baru yang dituntut pun semakin tidak sederhana.

Akomodasi itu bisa berbentuk modernisme, yaitu menginterpretasikan kembali agar sesuai dengan semangat dunia modern Barat, yang berfokus pada rasionalisasi dan efisiensi. Tetapi, modernisme tidak serta merta diterima oleh mayoritas kaum Muslimin. Bahkan, pengaruh kaum modernis Islam terbatas pada sebagian kaum elit dan urban. Sementara mayoritas kaum Muslimin tetap berada dalam paradiga akomodasi lama.

Dalam upaya pencarian akomodasi baru, bukan hanya tradisi kecil yang dipertanyakan, tetapi lebih jauh lagi adalah tradisi besar itu sendiri tidak kurang pula menghadapi gugatan. Doktrin-doktrin tertentu syari’ah yang selama ini dipandang tidak bisa diubah mengalami pengkajian ulang. Kontroversi tentang harta waris sebagaimana dicontoh di atas adalah contoh yang relevan dalam konteks ini.

Munculnya kontroversi hebat ini pada segi lain merefleksikan kenyataan lain, bahwa batas-batas dari apa yang disebut sebagai tradisi besar tidak sepenuhnya unchangable. Celah-celah, setidaknya dalam kacamata sebagian cendekiawan Muslim masih cukup terbuka dalam upaya menemukan perumusan akomodasi baru tersebut. Apalagi belakangan ini kita menyaksikan kelompok muda Islam yang membentuk Jaringan Islam Liberal (JIL). Kelompok ini berusaha untuk melihat Islam dari segi substansinya nilai-nilai dasar bukan simbol-simbol formalitas. Karena itu, mereka menggugat simbol-simbol yang berbau Arab dan penghormatan yang berlebihan kepada Nabi Muhammad dan sahabat. Nabi tidak dianggap sebagai tokoh suci, tetapi tokoh sejarah dan moral yang telah berhasil melakukan transformasi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kejujuran pada masyarakat Arab waktu itu. Menurut mereka, semangat inilah yang patut ditiru bagi umat Islam sekarang.[8]

Tentu saja ide-ide yang semacam ini mendapat tantangan yang sangat keras dari kalangan Islam “harfiah” (leterlek) yang melihat Islam dan figur Nabi tidak dapat dipisahkan. Bahkan kalangan Islam harfiah mencap kafir pandangan di atas karena dianggap tidak lagi mengakui Nabi sebagai utusan Allah. Tidak heran kemudian akumulasi dari berbagai pandagan liberal di atas menumbuhsuburkan bibit-bibit kelompok garis keras yang mempertegas Islam sebagai identitas .

Ketegangan semacam ini adalah akibat kegamangan umat Islam menghadapi perubahan yang begitu cepat, sehingga memunculkan kelompok yang tidak sabar dan ingin cepat-cepat maju dengan mentransformasikan berbagai ide-ide dari bangsa yang sudah maju yang berlandaskan pada semangat Islam. Di sisi lain, ada kelompok yang tetap mengakui kemajuan itu perlu dengan tetap mengacu pada sumber dan sejarah Islam dan tidak perlu melakukan “manuver” meniru secara latah apa yang datang dari luar Islam.

Pada saat yang bersamaan, umat Islam dihadapkan pada bangsa yang telah lebih dulu maju dalam bidang sains dan teknologi. Kesenjangan semakin menganga karena bangsa maju memproduksi dan menguasai alat komunikasi canggih sedangkan umat Islam menjadi pemakai produksi mereka. Akibatnya, nilai-nilai globalisasi menjadi gaya hidup dalam masyarakat Muslim karena tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi informasi yang dikatakan bebas nilai ternyata tidak benar karena teknologi itu membawa pesan budaya dan nilai produsen itu sendiri. Di sini prinsip Marshal Mc Kuhan, ahli komunikasi terkenal tentang “medium is the message” masih sangat relevan.

Dalam konteks ini, dengan menggunakan kerangka Johan Galtung, transformasi budaya abad ke-21, pada dasarnya akan merupakan pelestarian budaya saintifik teknologikal yang bersumber dari Barat. Sebagaimana kita ketahui, melalui saintifik teknologikal yang berlangsung sejak abad ke-18, Eropa berhasil tidak hanya memiliki kekuatan militer dan politik yang tangguh, tetapi juga menjadi kekuatan budaya yang dominan. Didukung keunggulannya dalam berbagai aspek tadi, Eropa melakukan ekspansi dan “pemaksaan” kulturalnya ke wilayah-wilayah yang tidak mempunyai kemampuan menangkis atau membendung mereka. Dengan kata lain, Barat yang didukung oleh kebudayaan industrial menduduki posisi yang superior dan dominan vis a vis masyarakat-masyarakat yang masih berada dalam budaya praindustrial, termasuk kawasan-kawasan Muslim.

Menurut Galtung lebih lanjut, dalam proses akulturasi budaya dalam masyarakat dunia terdapat kesenjangan kesempatan yang berakar kuat dalam struktur ekonomi yang pincang. Pada satu pihak terdapat apa yang disebutnya center (pusat), yakni negara-negara yang mempunyai keistimewaan-keistimewaan tertentu berkat kekuatan ekonomi dan politiknya, sementara di pihak lain terdapat kelompok periphery (pinggiran), yang karena kelemahan dan keterbelakangannya dalam ekonomi dan politik, hampir tidak mempunyai hak dan kekuatan apa-apa. Dalam pola interaksi budaya di antara kedua belah pihak ini, pihak yang memiliki rangking tertinggi dalam struktur “pusat pinggiran” ini mendominasi atau bahkan memonopoli arus interaksi kultural yang terjadi. Dalam sejumlah studi perdamian, negara-negara yang berada di pusat disebut sebagai tops dogs, sementara mereka yang berada di pinggiran disebut sebagai underdogs.[9]

Dengan demikian, interaksi dan akulturasi budaya di antara kedua pihak ini berlangsung secara amat pincang. Negara-negara yang merupakan pusat-pusat ekonomi, yang sekaligus juga merupakan pusat kebudayaan dan peradaban mendominasi masyarakat yang periferal secara ekonomi dan, karenanya, sekaligus pinggiran dalam kebudayaan dan peradaban. Dalam dinamika hubungan yang pincang itu, yang terjadi adalah superimposition atau bahkan destruksi budaya periferal secara terarah dan sistematis.

Dalam kaitan ini menarik mengutip kerangka Bassam Tibi tentang periodisasi sejarah budaya masyarakat dan negara underdogs. Menurut Tibi, terdapat tiga fase sejarah budaya masyarakat dan negara periferal dalam hubungannya dengan ekspansi budaya masyarakat pusat (Barat). Fase pertama adalah ekspansi budaya Barat melalui penetrasi militer dan politik. Respons masyarkat masyarakat periferal dalam fase ini adalah reaksi keras, misalnya melalui perlawanan bersenjata antikolonialisme. Dalam konteks budaya, maka perlawanan antikolonialisme tersebut merupakan upaya untuk mempertahankan budaya dan sekaligus untuk melakukan revitalisasi budaya mereka.

Fase kedua terjadi ketika ekspansi budaya Barat telah mencapai tahap westernisasi dan berhasil memunculkan lapisan elit yang kebarat-baratan. Dalam tahap ini elit yang terbaratkan tersebut talah menginternalisasikan nilai-nilai dari masyarakat industrial, tetapi mereka hidup di tengah masyarakat yang kurang memiliki perangkat sosial yang mampu mengakomodasi norma-norma masyarakat industrial. Pada tahap ini masyarakat periferal pada umumnya dihadapkan kepada dua pilihan: melakukan pengunduran diri atau sekaligus melakukan proyeksi diri ke dalam kebudayaan Barat yang asing bagi mereka.

Pada tahap ketiga, masyarakat periferal yang terjepit dalam kedua pilihan di atas akhirnya mengalami semacam “kehilangan kultural” (cultural loss). Pada saat yang sama mereka merasakan perlunya untuk mempunyai atau membangkitkan kembali identitas kultural yang telah hilang itu. Sementara itu mereka tidak mampu menjadikan Barat sebagai identitas budaya mereka atau sebaliknya menangkis budaya Barat yang semakin dominan. Di sinilah kemudian restrokpesi kultural, yang tidak jarang muncul melalui politisasi aspek-aspek tertentu kebudayaaan masyarakat periferal tersebut. Namun, karena struktur dominan yang tetap berpihak pada pusat tadi, politisasi tersebut dalam banyak hal sering mangalami kegagalan.[10]

Baik kerangka Galtung maupun ketiga tahap yang digambarkan Tibi di atas dapat dengan mudah diterapkan untuk melihat posisi budaya masyarakat Muslim, termasuk masyarakat Muslim Indonesia, sejak kemunculan dominasi dan hegemoni Barat dalam beberapa abad terakhir maupun pada abad 21 ini. Dengan jelas kita dapat melihat bahwa budaya kaum Muslim berada pada posisi yang sangat defensif, atau yang berada pada periferi perkembangan kebudayaan dan peradaban. Hingga saat ini belum ada tanda-tanda yang meyakinkan bahwa kaum Muslim mampu mengubah kepincangan struktural dalam proses akulturasi budaya yang semakin mengglobal tersebut kendati usaha-usaha ke arah sana sudah dimulai.

Dari kenyataan di atas, kita tidak dapat menafikan bahwa bukan hanya ketegangan antara realitas absolut dan realitas sosial yang relatif yang memunculkan sikap ekstrem, tetapi kepincangan global dan hegemoni negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang, juga menjadi andil yang cukup signifikan dalam menumbuhkan kekerasan global. Dalam era informasi, pembunuhan dan kekerasan di Afghanistan, Irak, dan Palestina tidak dapat ditutupi. Semua orang mendapatkan informasi tentang kekejaman dan pelanggaran hak-hak manusia yang dilakukan di sana.

Kepincangan opini dalam era informasi juga terjadi di depan mata kita. Contohnya, lewat media elektronik dan massa, ekstremisme dan terrorisme melekat kuat pada simbol agama, tetapi para konglomerat hitam yang harusnya juga dicap sebagai ekstremis dan perusak negara tidak diopinikan apa-apa. Ketidakadilan informasi inilah yang kemudian menjadi ghirah untuk mencari keadilan semakin memuncak dan kadangkala diiringi dengan semangat yang over dosis. Jadi, dapat dikatakan bahwa untuk mencari akar persoalan ekstremisme, perlu kajian yang menyeluruh, tidak hanya dari segi agama, tetapi juga politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya.

Namun, di sisi lain akomodasi budaya dalam beragama juga tidak dapat dikesampingkan. Sebab, sebagian besar umat Islam melakukan akomodasi budaya dalam beragama, sehingga terlihat bahwa sikap mereka yang toleran dan tidak ekstrem. Hassan Hanafi berpendapat bahwa umat Islam yang bersikap ekstrem garis keras tidak lebih dari 10%, begitu juga yang ekstrem liberal tidak lebih dari 10%. Selebihnya sekitar 80% adalah umat yang moderat. Artinya, dari segi kuantitas, umat Islam yang moderat dan tidak menunjukkan sikap ekstrem lebih dominan dibandingkankan dengan ekstrem literal dan liberal. Hanya saja mereka tidak vokal, sehingga terkesan tidak dianggap mewakili komunitas umat Islam.

Sepanjang sejarah umat beragama di Indonesia, sikap moderat ini pulalah yang mengeliminir pertikaian antar umat beragama, terutama sebelum masa reformasi. Beda halnya dengan era reformasi, yang “kebablasan” membebaskan semua kegiatan politik dan agama, sehingga muncul berbagai konflik yang bernuansa agama dan etnik. Hal ini tentu saja diakibatkan oleh berbagai faktor, di antaranya, pengekangan aspirasi masyarakat selama orde baru, tersumbatnya saluran politik, dan sentralisasi kekuasaan yang amat dominan.

Jadi, konflik yang akhir-akhir ini terjadi dan sikap ekstrim dari sebagian kecil penganut agama tidak dapat digeneralisasi bahwa semua umat beragama, terutama Islam adalah radikal dan ekstrem. Sikap radikal dan ekstrem bisa muncul dari faktor internal dan eksternal. Khusus untuk kasus Indonesia, faktor eksternal lebih dominan, seperti ekspansi Amerika terhadap Iraq dan Perlakuan Israel terhadap bangsa Palestina. Di samping itu, juga sebagai ekspresi tidak berdayanya sebagian umat dalam menghadang arus globalisasi dan informasi, yang akhirnya berujung pada sikap ekstrem.

Akhirnya, marilah kita memikirkan lebih dalam lagi bagaimana daya tarik agama, yang memberi rahmat bagi sekalian alam dapat terwujud dengan penuh kedamaian. Agama yang memiliki daya tarik ke depan tentunya yang selalu memperjuangkan hal-hal yang substansial bukan yang aksidental. Fanatik pada nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan adalah contoh nilai-nilai substansial, sedangakan fanatik pada tradisi lokal adalah hal yang aksidental.

Referensi:

Abdalla, Ulil Abshar, dkk., Islam Liberal dan Fundamental, Jakarta: eLSAQ Press, 2003

Alisjahbana, S. Takdir, Pemikiran Islam dalam Menghadapi Globalisasi dan Masa Depan Umat Manusia, Jakarta: Dian Rakyat, 1992.

Azra, Azyumardi, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, 1999.

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama, Jakarta: Logos, 1999.

Hidayat, Komaruddin, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi, Jakarta: Paramadina, 2003.

Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1998.

Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, 1984.

Smith, Huston, Ajal Agama di Tengah Kedigdayaan Sains?, (terj.) Bandung: Mizan, 2003.

Voll, John Obert, Islam Continuity and Change in the Modern World, Colorado: Westview Press, 1982.


[1] Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2004, h. 6.

[2] Amsal Bakhtiar dkk., “Konflik Etnis di Sambas” dalam Faktor Konflik dan Modal Perdamaian, Jakarta: Lemlit, 2004, h. 39. Lihat Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, 1999, h. 19.

[3] Amsal, h. 39.

[4] Azyumardi, h. 24.

[5] Azyumardi, h. 12.

[6] Azyumardi, h. 13.

[7] Jamhari, h. 42.

[8] Ulil Abshar Abdalla, dkk., Islam Liberal dan Fundamental, Jakarta: eLSAQ Press, 2003, h. 5.

[9] Azyumardi, h. 198.

[10] Azyumardi, h. 199.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar