Jumat, 16 Januari 2009

Multiple Intelligence Research

Filosofi Multiple Intelligence
1. Semua anak "cerdas"
2. Anak memiliki potensi ganda
3. Anak relatif lebih cepat belajar dari teman sebayanya.
4. Dengan program yang "bagus" akan semakin memotivasi Anak.
Landasan teori yang digunakan:
1. Multiple Intelegency.
2. Active Learning -> anak terlibat secara langsung
3. Contextual learning --> "pelajaran" yang diberikan tidak boleh terlalu "tinggi",.. berkomunikasi dengan anak dengan bahasa yang dipahami,.. atau memakai alat peraga yang sudah "familiar" buat si anak.
Aplikasi konsep MI :
1. Kelas dengan menggunakan "sistem sentra" dan moving class.
Terdapat 8 sentra, yaitu:
a. Block.
b. Discovery
c. Library.
d. Imtaq (Iman Taqwa)
5. Art
6. Make believe
7. Audio Visual.
8. Computer.
9. Music
10. Outside
2. Program disusun berdasarkan tipe kecerdasan.
3. Membuat kegiatan-keliatan yang melibatkan beberapa area kecerdasan.
Misal,... Kunjungan bulanan -->ke pabrik tahu:
1. kecerdasan interpersonal -> dengan guru, teman, om di pabrik tahu
2. logis matematis -> "membeli" tahu.
3. memasak.

Pengamalan Ilmu Pengetahuan

Pengamalan Ilmu Pengetahuan

Daoed Joesoef

Harian Kompas, Rabu, 23 Mei 2007, Ada artikel di harian Kompas (8/12/2006) berjudul "Ibadah Ilmu", buah pikiran Sulistyowati Irianto, yang begitu mengingatkan hingga tidak pantas jika tidak ditanggapi. Dia menyayangkan mengapa ilmuwan "terlalu diam" dengan dalih "obyektivitas" dan "netralitas" dan lalu mengajaknya untuk melibatkan diri dalam masalah kemanusiaan untuk mampu membuat ilmu menjadi suatu ibadah dalam rangka perumusan jawaban yang diperlukan.

Harus diakui bahwa pengetahuan dikembangkan praktis di Eropa sejak zaman Pencerahan begitu rupa hingga menjadi "pengetahuan ilmiah" atau "ilmu pengetahuan" (IP) tentang alam. Metode pengembangannya berupa laboratory experiment, yaitu memanipulasi parameter yang efeknya dipertanyakan, melakukan parallel control experiments terhadap parameter yang ditetapkan konstan, mempertahankan lain-lain parameter terus- menerus konstan, mengopi baik manipulasi eksperimental maupun control experiment dan mendapatkan data kuantitatif. Metode ini tidak hanya berhasil dalam penanganan fisika, tetapi juga untuk urusan kimia dan biologi molekular, hingga disimpulkan bahwa eksperimentasi adalah hakikat metode ilmiah.

Jadi, sejak awal IP dikembangkan sebagai pengorganisasian pengetahuan begitu rupa hingga ia dapat mengungkapkan lebih banyak lagi potensial yang tersembunyi dalam alam guna selanjutnya diamalkan oleh manusia. Pengamalan IP ini membuahkan fakta mulai dari teori kinetic gaz dan telepon, melalui jembatan gantung dan mesin penggerak, hingga obat-obatan dan medicated toothpaste. Maka, ibadah ilmu dapat dikatakan membantu manusia mewujudkan "emansipasi fisik", yaitu pembebasan humanitas dari kekuatan alam, dari kekuasaan alami.

Dengan mengembangkan ilmu alam, para ilmuwannya sejak awal tidak bermaksud mengubah alam, cukup dengan mengetahui rahasianya saja. Mereka sadar tidak mungkin mengintervensi pembentukan galaksi, mengatur ulang peredaran planet dan bintang, memusnahkan secara eksperimental fauna dan flora tertentu lalu menggerakkan kembali kehidupan evolusionernya, memulai dan menyetop badai serta zaman es. Namun, dengan pengetahuan ilmiahnya, mereka bertekad menolak atau mengurangi fatalitas yang ditimbulkan oleh malapetaka alam yang tak terelakkan.

Membantu nasib manusia

Pengetahuan sosial dan humanities yang datang belakangan mengadopsi begitu saja agar dikualifikasi sebagai "ilmiah", metode kerja ilmu alam, yaitu the standard empiricism. Ilmu-ilmu non-alam tersebut dikembangkan juga dengan maksud membantu nasib manusia menjadi lebih baik. Sebab, semakin disadari bahwa tanpa IP, the modern world is indeed inconceivable. Namun, untuk memperbaiki, menyempurnakan, kehidupan sosial, dan masyarakat human; kehidupan dan masyarakat ini harus diintervensi. Berarti, ilmu sosial tidak cukup hanya berusaha "memahami" kehidupan sosial dan masyarakat human, tetapi demi terwujudnya "emansipasi sosial", ia harus mencampuri, ikut menata, kehidupan dan masyarakat tersebut.

Dengan perkataan lain, ilmu sosial harus "mengambil keputusan", beda dengan ilmu alam yang tidak harus berbuat begitu karena ia memang tidak ingin mencampuri struktur alami dan jalannya alam, yang adalah kreasi Tuhan, jadi sudah cukup sempurna.

Jadi, walaupun sama-sama manusia berilmu, kiranya perlu disadari perbedaan fundamental antara sikap "ilmuwan alam" dan "ilmuwan sosial". Ilmuwan alam (scientist) maunya menjadi "penganut ilmu" dan sebagai penganut yang carrect—sama dengan penganut agama atau kepercayaan apa pun—dia tunduk pada ketentuan ilmu yang dihayatinya. Ilmu alam tidak mengambil, apalagi mendikte, keputusan. Ia hanya memaparkan keadaan alami apa adanya sebagai suatu kebenaran yang terjelaskan dan menjelaskan (explanatory truth). Jadi, kalau ilmuwan alam sebagai scientist bersikap "diam" (netral) terhadap (jalannya) alam adalah wajar. Namun, karena dia "memahaminya" adalah wajar pula kalau dia menyiapkan segala sesuatu untuk mengelakkan fatalitas yang ditimbulkan oleh alam, bukan untuk mengatur atau menata ulang alam.

Ilmuwan sosial, orang berilmu yang kadang kala disebut scholar, maunya menjadi "pemilik ilmu" dan sebagai pemilik bersikap sebagai "penguasa ilmu", mau menggunakan ilmunya untuk mengintervensi kondisi kehidupan sosial dan masyarakat human. Sedangkan ilmunya sebenarnya tidak mengambil keputusan ke arah itu karena ia terbentuk menurut standard empericism dari ilmu alam yang bertujuan untuk sekadar "memahami".

Jadi, "memahami" adalah satu hal, sedangkan menerapkannya begitu saja sebagai suatu kekuatan intervensi ilmiah adalah hal lain lagi. Artinya, kalau seorang ilmuwan sosial merasa terpanggil untuk memperbaiki/menyempurnakan kehidupan sosial dan masyarakat human selaku scientist—penganut ilmu dan tidak sekadar sebagai seorang "intelektual"—dia harus berbuat supaya "ilmu sosialnya" itu berpembawaan "mengambil keputusan", bersendikan "kebenaran yang bernilai" (valuable truth), berkat metode pembentukannya sendiri yang khas.

Dan metode yang khas baginya itu adalah aim-oriented empiricism, bukan standard empericsm dari ilmu alam. Dan hal ini sah-sah saja mengingat science yang berarti knowledge—dari kata Latin scire (mengetahui) dan scientia (pengetahuan)—diperoleh dengan metode apa saja selama dianggap paling sesuai dengan bidang khusus (sosial) tadi. Mengingat aim-oriented empiricism ini tidak memungkinkan eksperimen laboratorium, empirismenya diperoleh dengan cara-cara lain, berupa "observasi", "perbandingan" (comparison), dan apa yang disebut natural experiments.

Galaksi

Jika astronom yang mempelajari pembentukan galaksi tidak mungkin memanipulasi sistemnya dalam eksperimen laboratorium yang terkontrol, demikian pula halnya dengan sejarawan human atau yuris atau antropolog. Namun, mereka dapat memanfaatkan natural experiments, yaitu membanding-bandingkan sistem yang berbeda berkat ada-tidaknya, atau kuat-lemahnya efek, dari some putative causative factors.

Tidak bebas nilai

Memang jauh lebih sulit menyimpulkan asas-asas umum (hukum) dari pembelajaran gejala sosial (sejarah, hukum, dan lain-lain) daripada pembelajaran gejala alam (orbit planeter dan lain-lain). Namun, hal ini tidak terlalu fatal karena sejujurnya kesulitan yang sama dialami juga oleh subyek-subyek keilmuan yang sudah terjamin tempatnya di lingkungan ilmu-ilmu kealaman, seperti astronomi, klimatologi, ekologi, biologi evolusioner, geologi, dan palaentologi.

Walaupun begitu, tidak bisa dikatakan bahwa IP, baik alam lebih-lebih sosial, adalah "bebas nilai". Yang benar adalah bahwa metode ilmiah adalah "bebas emosi", dalam artian, in its perfect application it proceeds rigorously regardless of values to which there may be deep emotional reactions pro or con. Tetapi, hal ini tidak membuat "ilmu" yang dihasilkannya "bebas nilai" mengingat IP itu sendiri merupakan suatu nilai. Jika tidak, untuk apa ia dikembangkan dengan menghabiskan begitu banyak biaya in terms of energi, waktu, dan uang.

IP memang perlu diamalkan. Ilmuwan sosial seharusnya merasa terpanggil untuk turun tangan, mencampuri kondisi kehidupan sosial dan masyarakat human sebelum terlambat. Jika tidak, kondisi ini terus ditentukan oleh kebijakan politik (policy), semakin diacak-acak seenaknya oleh politikus demi kepentingan primordialnya sendiri. Sedangkan "politik"—baik sebagai "kiat" maupun selaku "profesi"—cenderung menjauhi diktum "politik" sebagai "ilmu pengetahuan". Namun, dalam mengintervensi ilmuwan sosial seharusnya tetap bertindak selaku scientist mengingat ilmu yang dihayatinya itulah yang "memutuskan" begitu.

Berarti, pengembangan ilmu sosialnya perlu dibenahi menurut ketentuan aim-oriented empiricsm sebab far from letting politics corrupt science, science needs to contribute to the decorruption of politics!

Gugat Menggugat dalam Pendidikan

Gugat-Menggugat Dalam Pendidikan

JC Tukiman Taruna

Harian Kompas, Jumat, 25 Mei 2007, Kekalahan pemerintah atas gugatan warga (citizen law suit) terkait Ujian Nasional 2006 (Kompas, 22/5/2007) pasti akan diikuti proses hukum lain sehingga menjadi gugat-menggugat.

Proses gugat-menggugat itu biarlah berjalan sesuai aturan. Namun, ada dua pertanyaan amat mendesak yang harus dijawab. Benarkah ujian nasional (UN) melanggar hak asasi? Apakah gugat-menggugat dapat mendukung tercapainya Millennium Development Goals (MDGs) 2015?

Hak Anak

Konvensi Hak Anak (PBB, 1989) menyebutkan lima hak anak, yaitu (1) hak sipil dan kebebasan; (2) hak mendapatkan lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; (3) hak mendapat pelayanan kesehatan; (4) hak mendapat pendidikan; dan (5) hak mendapat perlindungan khusus.

Lebih lanjut, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjabarkan hak memperoleh pendidikan dengan rumusan (8) memperoleh pendidikan dan pengajaran guna pengembangan pribadi dan kecerdasannya; (9) memperoleh pendidikan luar biasa atau pendidikan khusus bagi anak cacat dan anak yang memiliki keunggulan. (Catatan: nomor 8 dan 9 itu sesuai urutan seperti ditulis dalam: Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Membangun Potensi Bangsa Melalui UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta 2002).

Para penegak hukum yang memenangkan gugatan warga agaknya berasumsi, mereka yang tidak lulus dalam UN "terampas" pengembangan pribadi dan kecerdasannya (baca hak asasinya). Padahal, yang namanya ujian (apalagi bertaraf nasional) selalu ada yang lulus dan (mungkin) tidak lulus. Pertanyaannya, kuatkah dasar hukum atas putusan yang menyebutkan ujian nasional melanggar hak (asasi) anak? Apakah tidak lulus ujian berarti seseorang (anak) tidak berkembang kepribadian dan kecerdasannya?

Uraian itu bukan menyiratkan saya setuju ujian nasional. Justru sebaliknya. Rumusan tentang ujian nasional tidak ada dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kecuali disebutkan evaluasi pendidikan yang dimaknai sebagai "kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan". Seharusnya para penegak hukum merujuk "ketiadaan" rumusan ujian nasional itu dalam dasar hukum terpenting mengenai pendidikan, yaitu UU Sisdiknas.

Senang atau tidak atas rumusan dan tuntutan MDGs, negara kita tetap harus fokus ke target pencapaian tahun 2015. Di bidang pendidikan, MDGs mengerucutkan rumusan tujuan "Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua" dengan rumusan targetnya: memastikan pada 2015 semua anak di mana pun, baik laki-laki maupun perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan dasar. Ada enam indikator utama sebagai pengukurnya, yakni: angka partisipasi murni (APM) di SD, APM di sekolah lanjutan pertama, proporsi murid yang berhasil mencapai kelas V, proporsi murid di kelas I yang berhasil menamatkan SD, proporsi murid kelas I yang menyelesaikan sembilan tahun pendidikan dasar, dan angka melek huruf usia 15-24 tahun.

Tuntutan MDGs

Amat jelas apa yang harus dicapai dan bagaimana mencapainya hingga tahun 2015, yaitu fokus kepada anak-anak di SD dan sekolah lanjutan pertama, serta mereka yang buta huruf pada usia 14-24 tahun. Jika hak pendidikan mereka tidak terpenuhi, amat tepat jika disebut pemerintah melanggar hak asasi anak-anak.

Jika demikian, gugat-menggugat dalam pendidikan sebaiknya jangan hanya masalah ujian nasional saja karena amat tidak proporsional lagi dibandingkan tantangan dan tuntutan pencapaian MDGs yang amat mendasar. Artinya, memastikan pada tahun 2015 semua anak Indonesia usia 7-15 tahun terlayani hak pendidikannya dan mereka yang berusia 15-24 tahun terbebas dari buta huruf adalah pekerjaan yang amat substantial. Karena itu, perlu ditempuh strategi nasional agar kepastian pemenuhan itu terjadi, misalnya benar-benar ada gerakan nasional program penuntasan pendidikan dasar. Selama ini gerakan nasional itu tidak ada. Kalaupun ada, tidak konsisten dijalankan. Partisipasi masyarakat juga perlu dikembangkan guna memastikan terjadinya pemenuhan hak-hak pendidikan anak itu berlangsung, bukannya partisipasi itu "dimatikan". Banyak bukti menunjukkan betapa partisipasi masyarakat dalam pendidikan "mati" karena berbagai kebijakan sesaat.

Model Pembelajaran Membunuh Pendidikan

Model pembelajaran
Membunuh Pendidikan

Posman Sibuea

Harian Kompas, Senin, 21 Mei 2007, Belakangan ini muncul beragam kritik terhadap praktik pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah proses pembelajaran yang berlangsung hanya sekadar mengejar target pencapaian kurikulum. Hal ini telah berlangsung lama dan menjadi proses yang membunuh pendidikan.

Fenomena ini menjadi topik diskusi aktual dalam rangkaian peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini untuk mengingatkan pendidikan di Indonesia dibayang-bayangi perapuhan nilai.

Ketika proses pendidikan diarahkan semata mengejar pencapaian tujuan kurikulum, institusi sekolah telah diposisikan sekadar pabrik yang membidani lahirnya tukang yang ahli pada bidang tertentu. Perakitan produk akhir demikian bermuara kepada proses matinya pendidikan.

Secara perlahan tapi pasti, sekolah direduksi menjadi semacam arena pendidikan dan latihan (diklat) untuk mengondisikan lulusan siap pakai.

Bahwa sekolah mempersiapkan alumninya ke pasar kerja, jelas hal penting. Namun, dalam tataran kebudayaan, tujuan ini tidak seluruhnya benar karena lembaga pendidikan tidak semata pusat pemintaran intelektual.

Secara pedagogis adalah sesat jika keberhasilan kognitif terlalu didewa-dewakan sebagai alat representasi prestasi siswa di sekolah dan memarjinalisasi sistem pendidikan nilai yang berkaitan dengan budi pekerti.

Semakin kabur

Revitalisasi pendidikan nilai yang dapat membentuk budi pekerti kian penting dimaknai ketika dalam kehidupan masyarakat makin kabur kriteria moral yang dapat digunakan sebagai acuan untuk berperilaku.

Ketika di sekolah terjadi penganiayaan fisik, lembaga pendidikan yang menaburkan benih-benih demokratisasi ini bukan lagi tempat yang steril dari segala macam bentuk kekerasan.

Kasus kekerasan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang menewaskan praja Cliff Muntu dan penembakan di Virginia Tech University, Amerika Serikat, yang menewaskan 33 orang—salah satunya warga negara Indonesia, Partahi Mamora H Lumbantoruan—merupakan serpihan contoh yang menyadarkan bahwa kekerasan kerap berulang di sekolah.

Tak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara adikuasa seperti Amerika Serikat yang mengedepankan kepentingan hak asasi manusia.

Kasus kekerasan fisik di IPDN amat memprihatinkan sebab terjadi di lingkungan pendidikan tinggi, yang seharusnya menjadi tempat belajar yang jauh dari tindak kekerasan.

Ironisnya, pendidikan yang diwarnai dengan tendangan bebas ke dada mahasiswa dan pukulan bertubi-tubi mematikan ke ulu hati terjadi di sekolah yang justru diadakan untuk menggodok para pemimpin bangsa di masa datang.

Pertanyaannya, calon pemimpin seperti apa yang bisa diharapkan menetas dari lembaga pendidikan yang mengedepankan otot ketimbang otak itu?

Kekerasan di dunia pendidikan tidak pernah surut. Benih kekerasan yang disemaikan dalam media perpeloncoan, misalnya, terus diwariskan kepada generasi berikutnya dan menjadi awan gelap yang menutupi pancaran sinar pencerahan pendidikan nilai.

Meski perpeloncoan sudah dihapus sejak tahun 1995, kegiatan ini masih terus bergulir seperti bola salju di sejumlah kampus untuk menumbuhkan disiplin bagi mahasiswa baru.

Ada dugaan, perpeloncoan yang dikemas dalam bingkai pendidikan ala militer yang bias acap menjadi pembenaran bagi senior untuk menindas mahasiswa baru. Perpeloncoan dengan hukuman fisik bukan lagi situasi yang insidentil yang dilakukan antara senior dan yunior, tetapi sudah berubah menjadi suatu situasi massal yang sistematis dan terorganisasi secara rapi.

Ujian nasional

Proses yang membunuh pendidikan, pemaknaannya terus bergerak melewati ruang kekerasan fisik untuk menukik masuk ke dalam sistem kekerasan bentuk lain.

Perilaku agresif untuk menekan atau menyerang dengan kata-kata (bullying), seperti ejekan untuk mempermalukan, hinaan, tekanan, dan fitnah, dengan maksud mendehumanisasi orang lain dapat disebut telah melakukan tindak kekerasan dalam bentuk lain.

Pelakunya tidak hanya siswa/mahasiswa senior, tapi kita sebagai orangtua (guru, dosen, pejabat, pemuka agama, elite politik, dan lain-lain) dapat melakukan bullying terhadap orang lain.

Tindakan bullying sudah menjadi keseharian dalam lembaga pendidikan di Tanah Air, mulai dari tingkat TK/SD hingga universitas. Korbannya tidak lagi hanya siswa yang gantung diri karena sering diejek temannya sebagai anak tukang bubur. Korban lain adalah siswa SLTP yang meninggal beberapa waktu lalu di Semarang karena penyakit jantungnya kambuh tiba-tiba saat mengikuti ujian nasional (UN) 2007.

Beban depresi berat bisa dialami peserta UN karena berada di bawah tekanan dari pernyataan pemerintah mengenai UN sebagai penentu kelulusan.

Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah menanggapi kritik yang mempersoalkan kebijakan pemerintah mengenai UN sebagai penentu kelulusan. Wakil Presiden mengatakan, dunia pendidikan tak ubahnya seperti produk pakaian jadi. Konsumen tidak mempersoalkan bagaimana proses pembuatan pakaian itu. Yang penting apakah setelah jadi, baju tersebut bagus atau jelek.

Semangat mengutamakan produk akhir dalam tujuan pendidikan kini kian mengental dengan terselenggaranya UN 2007—dengan sejumlah kecurangan yang terjadi—sebagai penentu kelulusan dan masuknya bimbingan tes ke sekolah lewat tender dengan alasan untuk mengatasi kepanikan siswa dalam menghadapi UN.

Itu artinya, proses yang membunuh pendidikan tetap berlangsung tanpa bisa dihentikan karena UN telah berhasil mereduksi esensi dari makna belajar.

Dunia pendidikan kini berduka. Praktik pendidikan diperlakukan tak ubahnya seperti dunia persilatan yang mengutamakan otot dan dunia perdagangan yang mementingkan produk akhir yang bernilai ekonomis. Bagaimana produk itu dibuat seolah bukan urusan pejabat yang berwenang.

Pada masa datang, proses pendidikan di sekolah tidak lagi semata pemintaran intelektual (kognisi), tetapi patut diarahkan juga kepada pembentukan karakter (afeksi) yang menetaskan manusia berbudi pekerti yang mencerminkan pribadi dengan integritas moral yang tinggi guna melahirkan pemikir untuk menakhodai biduk bangsa ini.

The Big Mistake About UN

Kebijakan Pendidikan
Belajar Bijak dari Kasus UN

Suparman

Harian Kompas, Senin, 28 Mei 2007, Silang pendapat tentang ujian nasional atau UN, yang sudah berlangsung tahunan, akhirnya diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam sidang perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan oleh 58 anggota masyarakat yang mewakili siswa, orangtua siswa, guru, dan para pemerhati pendidikan. Gugatan yang diajukan sejak hampir setahun yang lalu itu sebagian besar dikabulkan oleh majelis hakim.

Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menolak eksepsi para tergugat, yang terdiri atas Presiden Republik Indonesia, Wakil Presiden Republik Indonesia, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa para tergugat telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban UN, khususnya pada hak atas pendidikan dan hak-hak anak.

Majelis hakim juga memerintahkan para tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, dan akses informasi yang lengkap di semua daerah di Indonesia, sebelum (pemerintah) melaksanakan kebijakan pelaksanaan UN lebih lanjut. Para tergugat juga diperintahkan mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan UN, dan diperintahkan juga untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional.

Ada beberapa hal menarik yang patut dicermati dari putusan majelis hakim. Di antaranya terdapat persamaan pendapat antara majelis hakim dan para penggugat untuk menyebut siswa yang tidak lulus akibat kebijakan UN ini sebagai korban ujian nasional. Mengapa harus diposisikan sebagai korban?

Sebenarnya sudah sejak lama ketika kebijakan pemerintah di bidang pendidikan selalu berubah, maka yang paling merasakan dampak dari perubahan tersebut adalah siswa. Pada tahun 1979, kelulusan siswa sempat tertunda sampai enam bulan (satu semester) ketika terjadi perubahan sistem tahun pembelajaran. Sejak diberlakukan Kurikulum 1984, beban mata pelajaran pun bertambah dengan masuknya mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa yang dinilai mengandung banyak pesan politik kekuasaan.

Ketika menjelang berakhirnya Kurikulum 1994, tiba-tiba saja muncul "Suplemen Kurikulum 1994" yang kemudian digantikan dengan Kurikulum 2004. Baru belakangan diketahui bahwa Kurikulum 2004 adalah kurikulum eksperimen, yakni ketika masyarakat dikagetkan dengan penarikan sejumlah buku sejarah yang dinilai menyimpang dari kurikulum resmi pemerintah.

Ketika masyarakat protes soal ebtanas (evaluasi belajar tahap akhir nasional), akhirnya ebtanas pun dihapuskan. Sejak itu siswa sekolah menengah sempat mengalami sistem penilaian yang "berbasis proses" dengan penilaian yang dilakukan mulai dari kelas I sampai kelas III untuk menentukan kelulusannya. Tidak lama kemudian, pada tahun pelajaran 2003/2004, sistem penilaian proses digantikan dengan sistem ujian akhir nasional (UAN). UAN inilah yang kemudian berubah nama menjadi ujian nasional (UN).

Jadi kelinci percobaan

Pendidikan sebagai sebuah proses memang perlu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Tetapi, perubahan demi perubahan yang tidak dirancang dengan landasan filosofi dan konstitusi yang matang akhirnya hanya terkesan menjadikan siswa dan guru sebagai kelinci percobaan semata.

Karena itu, tepat sekali ketika majelis hakim memosisikan siswa yang tidak lulus UN sebagai korban UN. Sebab, bukan saja secara pedagogis UN dapat menghambat proses berpikir kreatif anak dan menghilangkan hak anak untuk memperoleh penilaian secara holistik, tetapi juga secara yuridis bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), sebagaimana pernah dinyatakan oleh Ketua DPR Agung Laksono (Kompas, 8 Mei 2007).

Perintah majelis hakim kepada para tergugat untuk terlebih dahulu meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di semua daerah di Indonesia sebelum melaksanakan kebijakan pelaksanaan UN lebih lanjut sesungguhnya sejalan dengan keinginan banyak pihak. Sudah sejak lama pemerintah diingatkan agar tidak menyelenggarakan UN terlebih dahulu sebelum memenuhi standar-standar lain yang menjadi kewajibannya sebagaimana diamanatkan dalam UU Sisdiknas.

Masih banyak guru yang tidak kompeten dan belum memenuhi kualifikasi. Belum lagi sekolah yang roboh dan belum terehabilitasi dengan baik, fasilitasi pembelajaran yang masih jauh dari harapan, serta akses informasi yang sangat terbatas di sejumlah daerah maupun di kota-kota besar.

Semua itu memperlihatkan bahwa standar-standar terpenting dalam pemenuhan hak anak atas pendidikan untuk memperoleh pendidikan yang terbaik bagi dirinya belum dipenuhi oleh pemerintah. Terasa tak adil apabila pemerintah belum sepenuhnya memberikan pelayanan yang terbaik bagi anak, tetapi telah mewajibkan anak untuk meraih standar minimal yang ditentukan oleh pemerintah.

Mencermati putusan majelis hakim yang memerintahkan para tergugat untuk mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan UN, terbayang oleh kita sejumlah anak yang mengalami tekanan psikologis akibat ketidaklulusannya. Di antaranya ada yang berniat melukai diri sendiri sampai usaha untuk bunuh diri.

Gangguan psikologis pada sejumlah anak lebih banyak didorong oleh perasaan diperlakukan tidak adil oleh sistem ujian yang hanya menghakimi mereka dalam waktu 3 x 2 jam saja selama UN. Tidak tercapainya nilai minimal dalam batas yang sangat tipis pada satu mata pelajaran saja mengakibatkan mereka tidak lulus. Padahal, selama tiga tahun mengikuti pembelajaran mereka sudah berusaha keras untuk meraih prestasi dan budi pekerti yang terbaik.

Dalam kasus seperti ini pemerintah semestinya memulihkan kembali konsisi psikologis anak dengan menyediakan para psikolog untuk mengatasi gangguan psikis pada anak, selanjutnya mengembalikan kewenangan guru dengan satuan pendidikannya untuk mengevaluasi kembali penentuan kelulusannya secara komprehensif. Jika ternyata memiliki nilai komprehensif yang memadai, maka mereka berhak untuk lulus dari satuan pendidikannya.

Kembalikan hak guru

Klimaks dari putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat adalah perintah kepada para tergugat untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional. Sepintas putusan ini bermakna interpretatif. Tetapi, jika dipahami sebagai bagian yang tidak terlepas dari semua putusan sebelumnya yang terfokus pada persoalan UN, maka sebenarnya pemerintah dan DPR bersama-sama dengan masyarakat dapat memaknai putusan ini sebagai pintu masuk untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Revisi terhadap PP ini seyogianya dijadikan solusi terbaik bagi semua pihak, terutama demi kepentingan terbaik anak. Kembalikanlah tugas mengevaluasi hasil belajar dan kelulusan peserta didik sepenuhnya kepada guru dan satuan pendidikannya, serta memfungsikan kembali UN hanya sebagai alat untuk pemetaan mutu pendidikan.

Palu majelis hakim telah dijatuhkan. Bagaimana semestinya para pihak menyikapi putusan majelis hakim tersebut? Kita acungkan jempol kepada Melati Murti Pertiwi, salah satu korban UN yang ikut menggugat diwakili oleh ayahnya. Dalam kesempatan dialog di sebuah televisi swasta, ia dengan bijak mengatakan bahwa putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat tidak dipandangnya sebagai pertarungan menang atau kalah, tetapi akan dijadikannya sebagai momentum untuk sama-sama memperbaiki dunia pendidikan.

Sikap bijak Melati bersama dengan teman-temannya sesama korban UN akan tercatat dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Pemerintah pun akan menorehkan tinta emas dalam sejarah yang sama, andai saja secara bijak mau mendengar suara Melati dan menyatukan hati bersama dengan anak-anak Indonesia untuk memperbaiki pendidikan. Semoga!

Sistem Pendidikan Finlandia

SISTEM PENDIDIKAN FINLANDIA
"Saya kira tidak ada siswa pintar dan siswa bodoh.
Yang ada adalah siswa yang belajar dengan cepat dan siswa yang agak lambat."

SAMPSA VUORIA, guru di Torpparinmaki Comprehensive School, Finlandia

Ada yang membaca Kompas edisi Senin 12 November 2007,khususnya halaman 38? Di halaman itu ada separo halaman berisi berita yang sangat menarik mencengangkan. Nah, jika Anda melewatkan sebuah berita tentang pendidikan dengan judul "Belajar dari Sistem Pendidikan Finlandia", Anda boleh merasa sayang.Berita tersebut sungguh mencengangkan saya. Meskipun kita pernah mendengar bahwa Finlandia adalah sebuah negara yang sistem pendidikannya paling unggul di seluruh dunia, namun berita yang ingin saya ringkaskan ini tetap menarik untuk kita camkan.

Pertama, rumusan Vuorio yang saya kutip di tulisan paling atas itu menunjukkan betapa penting mengubah paradigma kita tentang anak-anak kita yang sedang belajar di sekolah. Jika kita tak mampu mengubah soal pintar-bodoh ini ya celakalah kita--dan celaka pula anak-anak kita. Setiap manusia itu unik, tidak ada yang sama. Masing-masing punya kekhasannya sendiri-sendiri.Jika anak-anak itu diseragamkan--terutama pikiran dan keinginannya--muncullah kemudian cap bodoh dan pintar itu. Padahal,anak-anak kita memiliki potensi yang luar biasa biasa. Potensi itu tidak harus dikaitkan dengan matematika, bahasa, atau yang lainnya.

Kedua, di Finlandia tetap ada Ujian Nasional (UN). Tapi perhatikan yang satu ini: "Untuk mengevaluasi sistem pendidikannya, Pemerintah Finlandia menggelar UN. Namun, UN ini tidak diikuti oleh semua siswa dan tidak untuk semua mata pelajaran setiap tahunnya. ’Kami mengambil secara acak siswa yang mengikuti UN. Hasilnya hanya kami gunakan untuk mengevaluasi sistem pendidikan kami, bukan untuk menentukan kelulusan. Soal penilaian atau kelulusan itu urusan sekolah," kata Leo Pahkin, konselor pendidikan dari badan Pendidikan Nasional Finlandia. Betapa primitifnya kita ya yang masih mati-matian menggelar UN?

Ketiga, Finlandia mampu mengintegrasikan dunia pendidikan, riset, dan industri. Pemaduan ini telah mengubah Finlandia yang ekonominya semula ditopang hasil hutan dan pertanian menjadi negara industri berbasis teknologi tinggi. Di Finlandia ada sebuah lembaga bernama Tekes. Lembaga ini bertugas mendanai penelitian dan mempromosikan inovasi yang dilakukan oleh perguruan tinggi. Hasil riset kemudian dimanfaatkan oleh industri.

sAY NO To DrUgS

Hati-hati dengan Narkoba


Info Narkoba

Narkoba Bukan Obat Kuat

KapanLagi.com - Meskipun telah ditemukan pabrik narkoba terbesar, baik di Tangerang maupun di Batu Jawa Timur, hal ini tidak menyiutkan nyali para pengguna narkoba. Bahkan penyalahgunaan narkoba akhir-akhir ini semakin marak, baik kalangan muda maupun orang tua.

Banyak alasan mengapa sebagian orang menggunakan bahan terlarang dan mematikan ini, salah satunya sebagai gaya hidup yang modern. Bisa juga karena pengaruh teman, sebagai pelarian dari suatu masalah. Yang lebih ironis lagi, banyak orang yang beranggapan, mengkonsumsi narkoba sebelum melakukan hubungan seksual bisa menambah kemampuan dan kekuatan. Sehingga sering kita dengar adanya pesta narkoba yang kemudian dilanjutkan dengan pesta seks. Atau ada suatu anggapan yang mengatakan komplek pelacuran identik dengan narkoba.

Sebenarnya merupakan suatu tipu daya jika ada orang yang mengatakan bahwa narkoba dapat meningkatkan kemampuan dan kenikmatan seks. Bisa juga pandangan ini adalah cara yang dipakai oleh para pengedar narkoba untuk merayu pembeli, karena sekali orang merasakan narkoba, mereka akan ketagihan dan terus ketagihan.

Mengkonsumsi narkoba bukannya akan menambah kekuatan, namun sebaliknya justru akan menimbulkan masalah dan berakibat buruk terhadap fungsi seksual. Gangguan fungsi seksual karena menggunakan barang haram ini, tergantung dari jenis narkoba yang digunakan. Narkoba yang terdiri dari beragam jenis ini memiliki pengaruh tersendiri terhadap tubuh dan jiwa pemakainya, diantaranya:

HEROIN

Pada pria akan terjadi penurunan kadar hormon testosteron, menurunnya gairah seksual, disfungsi ereksi dan hambatan ejakulasi. Sedangkan pada wanita, menurunnya dorongan seksual, kegagalan orgasme, terhambatnya menstruasi, gangguan kesuburan dan mengecilnya payudara. Masalah seksual tersebut muncul karena pengaruh heroin yang menghambat fungsi hormon seks.

MARIJUANA

Bahan yang diisap seperti rokok ini memiliki kandungan tar yang jauh lebih tinggi daripada rokok. Sehingga bagi pria akan berakibat mengecilnya ukuran testis dan menurunnya kadar hormon testosteron. Juga akan berakibat pembesaran payudara, dorongan seksual menurun, disfungsi ereksi dan gangguan sperma. Sementara bagi wanita akan berpengaruh terjadinya gangguan sel telur, hambatan untuk hamil dan terhambatnya proses kelahiran disamping dorongan seksual yang menurun.

ECSTASY

Ecstasy dapat meningkatkan pelepasan Neurotransmitter Dopamine di dalam otak. Dopamine merupakan Neurotransmitter yang bersifat merangsang, termasuk perilaku seksual. Maka peningkatan Dopamine sebagai akibat pengaruh ecstasy dapat menyebabkan hilangnya kemampuan untuk mengontrol perilaku seksual, yaitu melakukan aktivitas seksual yang tidak mungkin dilakukan dalam keadaan normal.

DEPRESAN

Depresan atau lebih dikenal sebagai obat penenang akan mengganggu metabolisme hormon testosteron jika digunakan secara berlebihan, yang mengakibatkan penurunan dorongan seksual dan disfungsi ereksi pada pria. Sedangkan pada wanita akan mengganggu menstruasi dan juga menurunnya dorongan seksual.

Jika ada orang yang mengaku fungsi seksualnya menjadi lebih baik setelah mengkonsumsi narkoba, itu hanya disebabkan pengaruh negatif narkoba. Karena setelah mengkonsumsi narkoba, ecstasy misalnya, akan merasa lebih segar dan merasa fungsi seksualnya menjadi lebih baik. Sehingga tak takut melakukan hubungan seksual yang beresiko tinggi. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah proses gangguan fungsi seksual dan reproduksi.

Anggapan narkoba dapat meningkatkan fungsi seksual harus diluruskan, bukan kekuatan, justru kekecewaan yang didapat. Tetapi apapun alasannya, jauhi barang haram tersebut jika tak ingin menyesal di kemudian hari

Kebesaran ALLAH SWT

"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwasesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?" [QS. Al- Fushshilat]
Tidak semua peristiwa alam dapat dijelaskan dengan akal. Dalam koleksi ini disajikan keajaiban alam. Koleksi ini dikumpulkan sedikit demi sedikit dari internet. Jika anda merasa dapat memberikan tambahan keterangan pada koleksi di bawah ini, silahkan beri komentar anda !. Mohon bersabar apabila agak lambat, karena fotonya ditampilkan semuanya.. :)


Gambar lainnya bisa dilihat di
http://www.islamcan.com/miracles/index.shtml

LEBAH YANG MENULIS "ALLAHU"(Those who are familiar with Arabic will easily be able to identify what this beehive spells - "Allahu")

Akan terlihat dengan jelas lafal "Allah" pada batu permata tersebut bila disinari dengan cahaya
Mawar Merah di Angkasa"Selain itu (sungguh ngeri) ketika langit pecah belah lalu menjadilah ia mawar merah, berkilat seperti minyak"(Ar-Rahman: 37)
Gambar di atas adalah gambar ledakan bintang di angkasa yang diperoleh NASA dengan Teleskop yang sangat canggih.Kejadian tersebut membuktikan kebenaran Al-Quran yang diturunkan 14 abad yang lalu pada surah Ar-Rahman di atas

POHON YANG SEDANG RUKU
This is a recently discovered phenomenon in a forest near Sidney. As you can see, the bottom half of the tree trunk is bowed in such a way that it resembles a person in a posture of Islamic prayer - the 'ruku'. Looking closer you can see the 'hands' resting on the knees. the most amazing thing is that the 'man' is directly facing the Kaaba, Mecca which is the direction Muslims all over the world face when in prayer.
Sesungguhnya ALLAH Maha berkuasa dan dapat menjadikan apa saja yang pernah ataupun tidak pernah terfikir oleh manusia.Ini merupakan keajaiban alam ciptaan ALLAH.
THE FISH TESTIFIES THE PROPHET (S.A.W)The story of the fish began when Mr. Goerge Wehbi, a Christian Lebanese, was practicing his fishing hobby, in Dakar Senegal (the Capital of West Africa). He caught many fish. When the went home his wife saw among them a strange fish about 50cm length, with some arabic writing on it. He took it to Sheikh al-Zein, who read clearly what was writen in a natural way. That could not be done by a human being, but rather a Godly Creation which the fish was born with. He read "God's Servant" on its belly and "Muhammad" near its head, and "His Messenger" on its tail
LAA ILAA HA ILLALLAH WRITEN IN BRANCHESOne brother on Germany wrote and sent this photo. "The branches clearly say in Arabic that- There is no god but Allah. This is said to be a scene on a piece of cultivated farmland in Germany. Many Germans have been said to have embraced Islam upon seeing this miraculous sight and that the German government put steel fences around the part of the farm to prevent people from visiting and witnessing this miraculous site"
Lapadz "Alloh" yang terbentuk di telingan seorang bayi
Awan yang membentuk Lapadz "Alloh", kejadian ini diabadikan oleh seseorang di Mekkah
MEKKAH BERKILAU --Ini adalah hasil pencitraan dari IKONOS Satelite milik Space Imaging Inc, AS. Masjidil Haram yang 'diintai' oleh AS pada 31 Oktober 1999 itu menampilkan fenomena menakjubkan. Terlihat di gambar hanya bagian Masjidil Haram saja yang berkilau sementara bangunan di sekitarnya tampak lebih gelap. Subhanallah. (NASA Astronomy Picture of The Day) (sumber :
http://www.spaceimaging.com/gallery/ioweek/archive/01-12-09/index.htm)
MOSQUE STILL STANDS AFTER EARTQUAKE IN TURKEYA mosque still stands amidst the rubble of collapsed buildings in this aerial view of a neigborhood in the western Turkish town of Golcuk, 60 miles east of Istanbul, August 19, 1999. The death toll from western Turkey's worst recorded eartquake surpassed 6,000, as hope waned of finding any of the thousands still missing under the mountains of rubble.
Menurut pemiliknya kalau dilihat dari dekat Gambar di atas menunjukkan kalimah "Lailahaillah" terbentuk pada seekor ikan

Self Motivation

cara untuk mendapatkan motivasi setiap hari:
1. Ciptakan Hasrat - Lihat imbalan dari usaha Anda secara jelas. Cara ini memberikan banyak motivasi untuk membuat rencana Anda cepat terwujud. Bayangkan rumah impian Anda setiap hari, dan ini akan memberikan Anda dorongan untuk menjadikannya nyata.
2. Ciptakan Rasa Sakit - Dalam program Neuro-Linguistic mereka mengajarkan pada Anda untuk menghubungkan rasa sakit dengan tidak melakukan tindakan. Gambaran kekasih Anda keluar dengan orang lain, saat Anda menyaksikan itu dengan diam-diam, hal itu mungkin membuat Anda termotivasi membicarakan hal-hal yang Anda hindari dengan pasangan Anda.
3. Bicarakan Rencana Anda - Bicaralah pada pasangan Anda tentang rencana Anda, atau tuliskan dalam selembar kertas apa yang akan Anda lakukan lalu tempelkan di kulkas.
4. Miliki Sebuah Ketertarikan yang Nyata - Jika tak ada ketertarikan sama sekali Anda mungkin perlu melakukan sesuatu, untuk itu buat sebuah tujuan besar dalam pikiran Anda.
5. Miliki Energi - Kafein akan memberikan rasa sehat untuk sesaat, tapi dalam satu atau lain cara, Anda membutuhkan energi lebih sebagai motivasi untuk setiap hari, misalnya dengan olah raga atau tidur cukup.
6. Ciptakan Keseimbangan Mental - Sangat sulit untuk menemukan motivasi jika Anda dalam keadaan tertekan. Hilangkan beberapa perasaan negatif Anda, atau pada akhirnya pilih kerjakan pekerjaan penting saat Anda dalam mood yang bagus.
7. Ambil Sebuah Langkah Kecil - Lakukan pengumpulan untuk satu tas besar daun-daun di halaman. Dan denagn segera Anda akan membersihkan halaman. Setiap sebuah langkah kecil yang Anda ambil untuk mencapi tujuan akan memberikan motivasi pada Anda setiap hari.

General Filsafat

Gerakan renaissance di Eropa lahir karena dorongan semangat yang berkobar-kobar dari kelompok kaum seniman, intelektual, dan politisi yang memelopori kebebasan berfikir dan berbuat tanpa pembatasan apapun. Gerakan mereka didorong oleh kenyataan yang mereka saksikan sehari-hari betapa ajaran dan pengaruh Gereja cuma kekangan-kekangan yang membelenggu kemerdekaan berfikir. Mereka memandang Agama di Eropa (Kristen) dengan penilaian penuh ejekan, Agama dipandangan mereka tak lebih cuma seperangkat rangkaian dogma-dogma yang disusun bagaikan bunga rampai yang indah dipandang, akan tetapi menghanyutkan orang banyak menjadi lalai dan beku, pasrah terhadap apa yang hendak terjadi. Bahkan kalangan mereka yang ekstrim memandang Agama dalam praktek sehari-hari di kalangan rakyat sebagai hasil meninabobokan atas nama “kerajaan di langit”, menjadi alat orang-orang kaya, tuan-tuan tanah serta kaum feodal yang memerintah secara absolut.
Akan tetapi, para penganjur renaissance itu juga menyadari, bahwa kebebasan berfikir itu haruslah dilandasi oleh nilai “kekayaan batin” untuk tujuan idealisme. Kebebasan berfikir tanpa idealisme adalah sia-sia. Mereka mendambakan nilai “rohani”, akan tetapi bukan Agama. Sebagai contoh, mereka mencita-citakan suatu keadilan, persamaan dan perdamaian yang mereka kategorikan sebagai idealisme. Namun idealisme itu sendiri tidak mungkin bisa dijawab oleh hasil-hasil pemikiran semata sekalipun sebagaimana bebasnya kemerdekaan berfikir itu. Sebab itu mereka memerlukan motivasi yang bernilai “rohani”, akan tetapi, sekali lagi, bukanlah Agama.
Sebab itu mereka mencari pelarian kepada filsafat!

Tentang filsafat yang mana ?
Mereka menampilan suatu kriteria, bahwa filsafat yang hendak mereka jadikan tempat pelarian itu mereka beri nama “Modern Philosophy” atau “Filsafat Baru”. Mereka jadikan “filsafat baru”-nya itu sebagai tonggak kelahiran renaissance itu sendiri. Mereka bagi-bagi periode filsafat menjadi beberapa periode yang dimulai dengan apa yang mereka namakan “Humanistic Period” yang berlangsung antara tahun 1453 hingga tahun kematian Bruno pada tahun 1600[1]. Dengan lain perkataan, bahwa “Filsafat Baru” adalah “Periode Kemanusiaan” sebagai landasan gerakan kebebasan berfikir.

Filsafat atau falsafah, kadang disebut falsafat atau falsafah, adalah terjemahan dari philosophy atau philosophia. Bermacam orang menyebutnya dan beragam pula orang mengartikannya, namun tidak diketemukan definisinya yang seragam. Dalam uraian yang terbatas ini tentu tidak mungkin dijelaskan apa sebenarnya filsafat itu dengan berbagai definisinya yang berbeda-beda. Akan tetapi sekedar pengertian pokoknya sebagai berikut :
Berpangkal dari kata “philosophia” dalam bahasa Yunani, maka artinya, cinta akan kebijaksanaan, atau arti yang lain, ilmu pengetahuan secara umum yang tiada batas. Berhubungan dengan tingkat pengalaman manusia semakin bertambah, padahal pengalaman adalah asal diketemukan ilmu pengetahuan, maka dengan pengalaman-pengalaman yang beraneka macam itu menggiring pengelompokan ilmu pengetahuan ke dalam berbagai kelompok ilmu, sehingga tiap bidang melahirkan cabang ilmu pengetahuan tersendiri.

Dengan timbulnya berbagai cabang ilmu pengetahuan itu, dengan sendirinya semakin menjadi sempitlah batas definisi filsafat. Lama kelamaan filsafat mengambil peran sebagai pengetahuan yang menelaah masalah-masalah khusus yang tidak dapat diselesaikan pemecahannya oleh sesuatu ilmu pengetahuan. Misalnya mengenai penelaahan terhadap logika (ilmu pengetahuan mengenai hukum-hukum dan metode-metode berpikir yang bisa diterjemahkan ke dalam bentuk kata-kata, atau lazim pula disebut: manthiq), terhadap metafisika (metaphysica, artinya: ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang berada di luar alam semesta yang tidak terjangkau oleh pengalaman manusia atau dalam istilah filsafah disebut transenden), terhadap etika (ilmu tentang bagaimana sepantasnya perilaku seseorang dalam pergaulan ummat manusia, atau tingkah laku yang dipandang baik dan buruk), terhadap estetika (ilmu tentang kecantikan yang terdapat dalam sesuatu keindahan dalam seni dan seniman, dengan ukuran bahwa belum tentu yang kita sebut bagus itu cantik dan indah, bahkan menurut Dostojewski (1821-1881), sesuatu yang indah menyedihkan itu justru letaknya “keindahan”), terhadap psikologi (ilmu tentang kejiwaan), terhadap fisika (physica, ilmu tentang alam semesta), terhadap hukum, sejarah, dan masih banyak lagi pengelompokan ilmu pengetahuan yang menjadi penelaahan dunia filsafat. Yang tidak kurang-kurang pentingnya ialah penelaahan filsafat tentang apa hidup itu dan bagaimana pula cara sebaiknya menetapkan sikap terhadap hidup itu sendiri.
Sikap pokok dari pada alam filsafat ialah, bahwa para filosof atau filsuf dalam membentangkan fikiran bebasnya mempunyai kemerdekaan yang mutlak, baik mengenai alam semesta (makro-kosmos) maupun alam manusia (mikro-kosmos). Tetapi mengenai alam metafisika, seperti yang dikatakan oleh Immanuel Kant (1724-1804) pemikiran mengenai hal tersebut adalah spekulasi, karena manusia hanya dapat mengetahui apa yang dialaminya. Hakikat dari sesuatu benda mengatasi pengalaman manusia, karena itu metafisika adalah suatu pengetahuan yang mustahil karena kesanggupan akal manusia cuma meliputi alam kenyataan. Berhubungan dengan itu maka menurut Immanuel Kant, Tuhan hanyalah suatu ide atau pikiran yang bersifat inteligibel (hanya dapat difahami dengan akal), artinya, pengertian Tuhan tidak berdasarkan realitas[2].

Oleh karena itu filsafat bersumber pada pemikiran bebas, maka kita akan menjumpai berbeda-beda definisi yang akibatnya masing-masing fihak memanjang-manjangkan uraiannya mengenai filsafat. Dengan demikian, maka semakin diketemukan hal-hal baru yang masih gelap, dan yang gelap itu mengundang pemikiran lebih lanjut dan menemukan hal-hal yang baru pula, hingga pernah dikatakan oleh seorang ahli filsafat sendiri, semakin diselami dengan akal pikiran sedalam-dalamnya semakin banyak yang belum diketahui ...!
Dimulai dengan pemikiran tentang What can I do? What ought I to do? What my I hope? (Apa yang bisa saya ketahui, apa yang seharusnya saya kerjakan, apa yang boleh saya harapkan), maka filsafat memulai pembahasannya tentang perkembangan pemikiran ummat manusia sejak sejarah mengenal pemikiran-pemikiran zaman purba sejak zaman Babylonia (2400 tahun sebelum Nabi ‘Isa), zaman Assyria (700 tahun sebelum Nabi ‘Isa), lalu disusul zaman Thales Anaximander (600 tahun sebelum Nabi ‘Isa), Heraclitus-Parmenides-Zeno (500 tahun sebelum Nabi ‘Isa), Socrates – Plato – Aristoteles (425-350 tahun sebelum Nabi ‘Isa), dalam nama dunia filsafat menemukan bentuknya sebagai asas berfikir secara bebas, yang oleh mereka dirumuskan sebagai Berfikir bebas demi kecintaan kepada menemukan kebenaran dan kebijaksanaan[3].

Akan tetapi, apakah itu kebenaran dan kebijaksanaan?
Di situlah dunia filsafat menghadapi batas jangkauan pemikirannya tatkala memasuki dunia metafisika yang hanya bisa dijawab oleh Agama. Karena filsafat bersumber pada hari pemikiran, sedang hasil pemikiran adalah hasil dari pengalaman, maka pengalaman manusia tentang kebenaran dan kebijaksanaan itu terbentur pada kaidah-kaidah yang tak dijangkau oleh kesanggupan otak manusia. Walaupun pada akhirnya lahir ahli-ahli filsafat di abad-pertengahan hingga mutakhir seperti :
Francis Bacon(1561-1626), Galileo Galilei (1564-1642), Rene Descartes (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677), Isaac Newton (1642-1727), John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753), David Hume (1711-1776), Baron de La Brede et de Montesquieu (1789-1755), Adam Smith (1723-1790), Jean Jacques Rousseau (1712-1778), Immanuel Kant (1724-1804), G.W.F Hegel (1770-1831), Sir William Hamilton (1788-1856), Auguste Comte (1798-1857), Charles R. Darwin (1809-1882), Herbert Spencer (1820-1903), Karl Marx (1818-1883), Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), Bertrand A.W. Russel (1872), dan lain-lain termasuk pula seorang yang banyak dikagumi dalam abad 20 ialah Albert Einstein (1879-1955) yang oleh Albert E. Avey dikatakan: He supported the Zionist plan for a homeland for Jews[4]. (Penyokong rencana gerakan Zionis untuk sebuah tanah air bagi Yahudi).
Dari mereka itu lahirlah aliran-aliran yang beraneka ragam dalam filsafat. Menjadi kenyataan bahwa filsafat bahwa satu macam dan satu definisi akan tetapi bermacam-macam mengenai baik alirannya maupun pengaruhnya.
Sebagaimana filsafat purba mempunyai perbedaan menganalisa sesuatu dan dengan sendirinya menghasilkan kongklusi yang berbeda pula mengenai asal kejadian alam. Sebagian ahli filsafat mengatakan bahwa udaralah asal kejadian alam, sebagian lagi mengatakan api dan yang lain berpendapat air. Demikian pulalah tentang proses kejadian itu sendiri maka dalam dunia filsafat berlaku suatu hukum kaidah bahwa tak ada yang diam dan tenang karena segalanya diproses oleh gerak dan hukum harakat. Segala yang bernama permulaan adalah awal dari suatu akhir, karena tiap kelahiran telah mengandung proses kematian. Hukum demikian berlaku bagi makro-kosmos maupun mikro-kosmos.

Akan tetapi ada filsafat lain yang mengatakan sebaliknya. Bahwa segalanya adalah berhenti sampaipun apa saja yang dikatakan bergerak sekalipun, pada hakikatnya cumalah berhenti. Sebagai contoh diambil sebuah misal, bahwa sebuah anak panah yang dilepaskan dari busurnya itu sebenarnya tidaklah bergerak, akan tetapi berhenti atau diam. Sebab menurut analisa filsafat, pada setiap saat biarpun seper-seribu detik sekalipun, anak panah yang dilepaskan dari busurnya itu berada pada satu tempat. Berada pada satu tempat itu hakekatnya adalah berhenti atau diam. Itulah aliran dialektika dalam filsafat, suatu aliran ilmu logat dan logika untuk berfikir sejauh-jauhnya dengan menemukan tiap pengertian mengandung perlawanan, dan tiap keseimpulan mengandung kebalikannya pula.
Dari filsafat di atas diketemukan suatu hukum kaidah, bahwa segala yang ada itu senantiasa mengalami proses bersatu dan bercampur untuk berpisah. Bercampur sesama jenisnya dan berpisah untuk membentuk jenis-jenis lain yang pada akhirnya juga menjadi lenyap lalu timbul untuk pada akhirnya lenyap kembali. Mengapa demikian? Karena ditentukan oleh “kodrat”-nya sendiri. Dari mana “hukum kodrat” itu? “Kodrat” itu menurut filsafat tersebut telah ada atau hinggap di dalam bentuk itu sendiri yang menghendaki bersatu dan berpisah. Atau dengan lain perkataan bendalah yang menciptakan dirinya sendiri, lalu bercampur dan berpisah karena “kodrat”nya sendiri. Sebab itu alam ini cuma terdiri dari benda-benda atau materi-materi, yang semuanya berasal dari benda yang amat terkecil hingga tak bisa dibagi. Benda itu bernama “atom”, berasal dari perkataan “a” yang artinya “tidak” dan “tom” artinya “terbagi”.
Demikianlah maka timbul aliran filsafat Heraclitus (533-475 sebelum Nabi ‘Isa) yang mengajarkan bahwa hakikat segala-galanya adalah perubahan. Segala-galanya berubah, perubahan itu disebabkan karena berdasarkan hukum perlawanan yang senantiasa ada dalam setiap benda atau sesuatu kejadian. Seorang bayi yang baru lahir di dalamnya telah mengandung kematian. Perkembangan filsafat tersebut diperjelas oleh Hegel (1770-1831) yang melahirkan hukum thesis-anti thesis-synthentis sebagai suatu metode berfikir dan berbuat, yang berasas pada “kesatuan perlawanan” dan bersumber pada akal semata-mata. Bagi filsafat tersebut akal adalah merupakan segala-galanya, baik mengenai perkembangan pengertian maupun perkembangan sesuatu kejadian.
Tiap sesuatu telah membentuk perlawanannya. Dari filsafat tersebut melahirkan filsafat “dialektika-materialisme” yang dalam perkembangan selanjutnya menetapkan suatu hukum, bahwa: Dunia adalah medan pertarungan. Pertarungan terus menerus antara dua aliran yang bertentangan, bertarung untuk membentuk yang baru, tetapi yang barupun menimbulkan perlawanannya yang bertarung hingga bertarung itu tak akan ada habisnya. Pertarungan adalah raja dari segala-galanya. Dari pertarungan terpenuhilah prinsip bertemu untuk berpisah, bersatu dan bertarung, karena yang satu harus dibikin tammat riwayatnya. Mengapa demikian? Jawab filsafat: karena “kodrat” itu dibentuk oleh apa dan siapa? Dan akhirnya apa dan siapa itu darimana? Jika dikejar terus oleh “filsafat” lain tentulah akan melahirkan pertanyaan berikutnya : Darimana itu apa, mengapa dan siapa???
Pertanyaan demi pertanyaan memperoleh penjelajahan alam pemikiran untuk mencari jawaban berdasar penemuan pemikiran pula, dan jawaban demi jawabanpun menimbulkan pertanyaan pula yang memerlukan penjelajahan lebih lanjut, demikianlah berlangsung tanpa ada kesudahannya. Hal itu tidaklah mengherankan, disebabkan karena dunia filsafat hanyalah meliputi sekeliling pemikiran otak manusia, dengan sendirinya penelaahannya dan penjelajahannya terbatas pada alam nyata yang hanya bisa dicapai oleh kesanggupan pemikiran manusia. Tiap masalah serta kemusykilan yang menjadi problem harus memperoleh jawabannya menurut daya kemampuan fikiran manusia. Dari kalangan mereka sendiri terdapat satu kelompok yang berpendirian bahwa filsafat tidak boleh menjangkau pemikiran tentang hal-hal ghaib yang menjadi lingkungan alam metafisika misalnya tentang Agama, tentang Akherat, tentang Tuhan, dan sebagainya dari alam di luar manusia, karena kemusykilan manusia hanya dipecahkan oleh manusia sendiri tanpa “ikut campur Tuhan”, kata mereka.
Memang benarlah orang yang mengatakan bahwa filsafat lahir karena subjek dan objek ketakjuban manusia. Artinya, ketakjuban atau kekaguman manusia akan rahasia-rahasia alam semesta yang begitu kaya-raya, pelik dan penuh teka-teki yang belum terjawab. Manusialah satu-satunya makhluk yang bisa merasakan ketakjuban tersebut. Manusia sebagai makhluk yang takjub, dia menjadi subjek. Rahasia alam sebagai kejadian yang ditakjubi, maka alam itu menjadi objek.

Dalam filsafat diajarkan bahwa ketakjuban melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang terucap dalam kata-kata maupun yang masih tersimpan dalam hati sanubari. Dengan dorongan pertanyaan-pertanyaan maka manusia merasa harus melakukan penyelidikan, penelaahan serta penjelajahan, membongkar segala rahasia ketakjuban mereka untuk memperoleh jawabannya. Untuk menemukan jawaban tersebut, manusia menggunakan daya kemampuan otaknya untuk menggali serta membongkar rahasia-rahasia. Adapun hasil penemuan jawaban mereka tergantung pada kecuali batas kesanggupan daya-pikir mereka juga pengalaman mereka. Tetapi kepuasan tidak pernah dijumpai, karena tiap menemukan jawaban, justru jawaban itu menimbulkan pertanyaan baru yang meminta jawaban pula, demikianlah tidak pernah ada kesudahannya kecuali bahwa kian digali kian menemukan teka-teki baru yang masih gelap, hingga saatnya habis dimakan umur masih belum menemukan jawaban yang diperlukan.
Seorang filsuf adalah seorang monolog (monologue), orang yang berbicara atau bertanya kepada dirinya sendiri. Dia yang berbicara atau bertanya dan dia sendiri pula yang menjawab. Pertanyaan tentang What can I know? (apa yang bisa saya ketahui) What ought I to do? (apa yang seharusnya saya kerjakan) What may I hope? (apa yang boleh saya harapkan). Pertanyaan-pertanyaan mengenai apa saja yang sanggup dicetuskan oleh daya kemampuan-pikirannya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi pokok persoalan yang dalam dunia filsafat disebut problem. Manusia melahirkan problem-problem karena itulah haknya. Haknya sebagai makhluk yang mempunyai otak yang membedakannya dari binatang. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengalir dengan bebas tak boleh dihambat-hambat dan harus menemukan jawaban-jawabannya menurut kesanggupan daya-pikirnya dengan bebas pula. Bertanya dan menjawab problem 1000 macam harus terus berlangsung tidak boleh menemukan titik akhir apalagi titik kejelasan. Sebab jawaban yang merupakan titik akhir atau yang merupakan kejelasan terakhir berarti tammatnya dunia filsafat, hal itu tidak boleh terjadi. Filsafat tidak boleh selesai, dan sang failasuf tidak boleh kematian problem. Jawaban-jawaban yang mendatangkan kejelasan kematian filsafat, karena itu jawaban-jawaban tidak boleh selesai. Tammatnya suatu jawaban berakhirnya dunia filsafat, berarti pula habisnya pertanyaan-pertanyaan, sama artinya dengan mandeknya alam berfikir, hal itu bertentang dengan fungsi manusia sebagai “makhluk berfikir”, demikian menurut bahasa filsafat.

Dalam dunia filsafat tidak boleh ada persoalan yang abstrak dan samar, segalanya harus nyata dan pasti menurut penemuan pemikiran. Karena itu filsafat menjelajahi serta menelaah segala kejadian alam semesta untuk melahirkan ilmu yang bernama ilmu alam dengan segala hukum-hukumnya yang bisa dirumuskan. Menurut dunia filsafat, alam semester merupakan susunan hukum yang selamanya obyektif serta masuk akal, yang oleh kalangan filsafat dipandang sebagai “kodrat alam”. Dengan demikian, maka menurut mereka, segala peristiwa yang akan datang akan bisa diketahui serta diramalkan sebelumnya, bahkan bisa direncanakan. Segala peristiwa mengenai sejarah, mengenai ekonomi, mengenai tingkatan kemajuan, ya bahkan mengenai damai dan perang, segalanya bisa direncanakan, bisa “diatur”. Bagi dunia filsafat, berfikir tentang manusia, termasuk hidup dan matinya sekalipun, baik secara perorangan maupun secara berkelompok, tidak ada bedanya dengan berfikir tentang benda dengan susunan yang rasional dari alam semesta karena manusia adalah bagian mutlak dari alam, padahal filsafat mengatakan bahwa alam adalah suatu kenyataan yang besar yang meliputi segala-galanya, sumber kehidupan dan kematian dan karena itu alam menjadi sumber pemikiran.

Filsafat melahirkan ilmu pengetahuan. Segala persoalan manusia selamanya dilayani, dijelaskan dan diselesaikan oleh ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, ilmu adalah “maha kuasa”. Dari kalangan filsafat yang radikal mengatakan bahwa ilmu eksakta telah sanggup menyusun pekerjaan-pekerjaan dengan instrumen atau alat-alat yang rasional hingga tidak memerlukan bantuan apapun. Kalau Agama, - demikian kata mereka – cuma berbicara tentang rembulan dan bintang-bintang, maka ilmu eksakta telah mengantarkan manusia datang sendiri ke rembulan dan bintang. Dengan demikian, maka Agama tidak perlu ada, karena kedudukannya telah digantikan oleh ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan, maka watak manusia dan kebudayaannya bisa dibentuk melalui alat-alat dan sarana-sarana yang diciptakan oleh ilmu pengetahuan, masyarakat akan bisa disusun dan ditemukan nasibnya dalam hidup berdasarkan hasil-hasil yang diciptakan oleh ilmu pengetahuan.
Filsafat yang radikal-ekstrim seperti di atas dapat dipelajari melalui filsafat Feuerbachyang diajarkan oleh ahli filsafat bangsa Jerman bernama Ludwiq Feuerbach (1804-1872). Filsafat Feuerbach sangat berpengaruh bagi Karl Marx (1818-1883) dan Fredrich Engels (1820-1895), dua orang mula pertama yang membangun faham Marxisme yang melahirkan komunisme.

Secara ringkas filsafat Feuerbach itu mengajarkan: Agama itu ciptaan manusia sendiri. Apa yang disembah-sembah orang sebagai Tuhan sebenarnya ialah perwujudan dari cita-cita manusia sendiri. Setiap manusia insyaf akan kekurangan-kekurangan sendiri: ia tidak adil, ia tidak baik, cintanya terhadap sesama manusia tidak sebagaimana mestinya, dan sebagainya. Berulang-ulang ia mengecewakan hatinya sendiuri karena kekurangan-kekurangan tersebut. Dengan demikian timbullah dakam sanubarinya keinginan-keinginan akan sesuatu yang sempurna dalam segala-galanya. Demikianlah lahirlah Tuhan dalam hatinya. Begitu pula timbulnya pengertian sorga (dunia baqa), Dunia tempat manusia hidup sehari-hari tidak pernah memuaskan hatinya secara absolut. Demikian ajaran Feuerbach, bahwa manusia hendaknya segera menggantikan kepercayaannya akan Tuhan dan Dunia-baqa itu dengan kemauan, yakni kemauan yang ditujukan semata-mata kepada manusia dan dunianya yang sekarang ini, jelasnya, kemauan untuk menaikkan martabat manusia dan kemauan untuk memperbaiki keadaan dalam hidupnya[5]. Secara “bahasa filsafat” yang ilmiah, maka filsafat Feuerbach itu antara lain mengajarkan: Religion therefore is nothing else than the consciousness of the infinity of the consciousness – Karena itu Agama tak lain daripada kesadaran dari keadaan ingat yang tak terhingga. Mengenai Tuhan, filsafat tersebut mengatakan: Thus, God is so to speak the outward projection of man’s inward nature – Begitulah, Tuhan itu sekadar proyeksi atau rencana yang keluar dari pembawaan bathin manusia[6]. Secara jenaka, ada yang mengatakan bahwa makna dan pengertian tentang filsafat adalah beraneka ragam, akan tetapi mereka sepakat untuk menetapkan kesamaan pendapat, bahwa di antara mereka tidak ada kesepakatan tentang definisi dan tujuan filsafat. Ketidak sepakatan mereka itu disebabkan karena perbedaan tempat berpijak sehingga masing-masing mengarah kepada tujuannya sendiri-sendiri. Oleh sebab itu, dalam dunia filsafat memiliki banyak sekali aliran serta corak yang masing-masing membentuk identitas sendiri-sendiri.

Dr. Mohammad Hatta mengatakan sebuah contoh tentang aliran Sofisme. Sofisme asalnya dari kata “sophos” yang artinya cerdik pandai. Bermula gelaran Sofis ditujukan kepada segala orang pandai sebagai ahli bahasa, ahli filsafat, ahli politik dan lain-lainnya. Orang tersebut karena pengetahuannya dan kebijaksanaannya dimana Sofis. Tetapi lama kelamaan kata itu berubah artinya. Sofis menjadi gelaran bagi tiap-tiap orang yang pandai memutar lidah, pandai bermain dan bersilat dengan kata-kata[7].

Pada umumnya filsafat mengarahkan pembahasan serta penyelidikan ilmiahnya kepada alam jagat raya atau cosmos, dengan lahirnya aliran sofisme maka filsafat dibelokkan pengarahannya kepada alam manusiawi, kepada kemauan, kepada cita-cita, kepada perasaan, dan kepada pengetahuan yang semestinya dimiliki tiap-tiap manusia. Dengan demikian maka dalam dunia filsafat lahir aliran tentang ethic kesusilaan.
Dr. Mohammad Hatta menilai secara kritis aliran sofisme, sungguhpun kaum sofis selalu mempersoalkan sikap hidup namun mereka tak sanggup menetapkan dasar apa yang harus menjadi pimpinan hidup. Mereka tidak dapat menemukan dasar umum yang harus berlaku bagi setiap orang, disebabkan karena tiap-tiap guru sofisme mengajarkan ukuran atau normanya sendiri-sendiri. Masing-masing mengemukakan pahamnya sendiri dengan tiada mau menimbang paham orang lain. Kecuali kalau tidak hendak membantah. Pahamnya sendiri tidak pula tetap, berubah-ubah dari waktu ke waktu. Tak ada yang tetap, kata mereka, semuanya dalam perubahan senantiasa. Sebab itu sikap manusia perlu pula berubah-ubah ... Dengan pendirian semacam itu tiap-tiap perubahan pikiran tentang sesuatunya dapat dipertahankan dengan mengatakan bahwa keadaan telah berubah. Semua berubah, dan kita mengikuti.

Kaum sofis tidak ada yang sama pendiriannya tentang sesuatu masalah. Mereka hanya sependirian dalam hal meniadakan, dalam pendirian yang negatif. Pokok ajarannya ialah, bahwa “kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai”. Tiap-tiap guru sofis mengemukakan ini sebagai pokok pendirian. Oleh karena kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai, maka tiap-tiap pendirian boleh benar dan boleh salah menurut pandangan manusia. Tiap guru sofis mengajar orang menaruh syak akan buah pikiran orang lain. Sebaliknya pula ia mengajar orang mempertahankan tiap-tiap pendirian. Apa yang dipertahankan kemarin, sekarang boleh dibatalkan. Kebenaran hanya sementara. Oleh sebab “kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai”, maka tiap-tiap pendirian boleh dibenarkan. Buat sementara ia benar. Sebab itu pula tidak ada ukuran yang tetap tentang benar dan tidak benar, tentang baik dan buruk. Sebagai kelanjutan pendapat ini, hilanglah perbedaan antara benar dan salah, antara baik dan jahat[8].

Dengan ajaran sofisme dalam filsafat seperti dilukiskan begitu jelas oleh Dr. Mohammad Hatta, maka timbullah faham falam filsafat yang disebut: teori tentang relativisme. Segalanya bersifat sementara, segalanya bersifat relatif. Sifat kesementaraan itu dengan sendirinya melahirkan apa yang dinamakan teori tentang skeptisme, teori tentang menaruh syak wasangka akan segala pendirian orang lain, mungkin akan pendiriannya sendiri. Memandan tiap faham atau pendirian orang lain dengan sikap skeptis, sikap purbasangka.
Di negeri asal kelahirannya sendiri yaitu Yunani, tidak dikenal sebutan “filsafat”, akan tetapi “philosophia” atau “philosophy”. Adapun maknya ada yang mengatakan: “cinta akan kebijaksanaan”, adapula yang mengartikan: “Cinta akan pengertian”.

Adapun sebutan “filsafat”, diketemukan melalui ucapan bahasa Arab yang menyebutkan dengan “falasifah” atau “falsafah” atau “filsafah”, lalu di Indonesiakan menjadi “falsafat” atau “filsafat”
Mengapa melalui ucapan bangsa Arab?
Dalam sejarahnya, bangsa Yunani purba yang melahirkan “philosophia” itu pernah mengalami perpecahan di antara mereka berhubung mereka tidak tersusun dalam suatu negara. Mayarakat mereka terpecah-pecah berkeping-keping mengikuti kondisi tanahnya yang terdiri dari ratusan pulau-pulau serta kota-kota kecil yang terpisah satu dengan lainnya oleh lautan, gunung-gunung dan lurah atau jurang. Tiap kota merupakan “negara-negara” sendiri dan saling bermusuhan hampir tak ada hentinya. Dan yang lebih parah lagi disebabkan karena serangan-serangan bangsa Parsi yang berulang-ulang.

Diceritakan, bahwa dalam jangka waktu yang lama sekali, filsafat hilang dari Yunani terlepas dari bangsa yang melahirkannya selama beratus-ratus tahun. Selama jangka waktu yang lama sekali itu, filsafat dipelihara oleh orang-orang Islam bangsa Arab.
Suatu ketika, para penguasa Yunani memusuhi ahli-ahli filsafat. Itu dapat dibuktikan oleh perlakuan mereka terhadap failasuf-failasuf terbesar Yunani seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan sebagainya yang diperlakukan sebagai musuh para penguasa. Keadaan demikian berlangsung berabad-abad.
Sejak tahun 528 Masehi nasib para failasuf lebih menyedihkan lagi. Seorang Kaisar Yunani, Justinian, [9] melakukan pengejaran serta menangkap failasuf-failasuf untuk dibunuh, adapun yang dapat lolos dari penangkapan, mereka melarikan diri keluar negeri misalnya ke Parsi dan kemudian ke Baghdad yang ketika itu ibukota Daulan Bani ‘Abbas.

Bangsa Arab sendiri telah mempunyai perbendaharaan-kata yang maknya sama dengan filsafat, ialah “Al-Hikmah” yang artinya “Al-Kalamul muwafiqul haqqa”atau “Shawabul amri wa sadaduhu” yang artinya “Perkataan yang menyepakati kebenaran” atau “Kebenaran sesuatu yag sebenar-benarnya”. “Al-Hikmah” sama benar maknya dengan “Falsafah”[10]. Kita dapat mencocokkan arti kata “Al-Hikmah” dengan “Wisdom” atau “Philosophy” dalam “Al Qamus al-‘Ishry” (Modern Dictionary Arabic-English by Elias A. Elias & Ed. E. Elias, Ninth Edition, Cairo 1962),
Jelas sekali, seperti halnya dengan bangsa Yunani memiliki “philosophia”, maka bangsa Arab memiliki “Al-Hikmah”, yang makna serta pembidangnya adalah sama. “Philosophia” menjadi “falsafah” menurut lidah Arab.
Zaman Daulah ‘Abbasiyah yang berpusat di Baghdad amat terkenal sebagai zaman keemasan ilmu pengetahuan, zaman lahirnya pujangga-pujangga, ‘Ulama-‘Ulama, para penyair dan ahli ilmu pengetahuan yang besar-besar. Terutama di zaman Khalifah-Khalifah Abu Ja’far Al Mansur (714-775 M), Harun Al Rasyid (766-809 M), dan Al Ma’mun atau ‘Abdullah Al Ma’mun (786-833 M), perbendaharaan ilmu pengetahuan Islam itu diperkaya dengan begitu banyaknya usaha menyalin buku-buku maupun manuskrip yang berasal dari Yunani, Parsi, India, Tiongkok dan lain-lain. Beratus-ratus buku-buku tentang filsafat dalam bahasa Yunani disalin ke dalam bahasa Arab. Memang, zaman Daulah Bani ‘Abbas – seperti kita uraikan di muka – terkenal dalam sejarah sebagai “’Ishrul ‘ulum wat taqaddum”, abad ilmu pengetahuan serta kemajuan, abad yang melahirkan Ulama-Ulama, pengarang-pengaran, penyair-penyair, serta para penyalin dari buku-buku bahasa asing ke dalam bahasa Arab. Dan, buku-buku filsafat dari Yunani memperoleh prioritas utama untuk disalin. Usaha penyalinan itu dipelopori sendiri oleh Khalifah-khalifah yang terkenal pengagum ilmu itu sehingga istana Khalifah penuh dengan para pengarang, penyair serta penyalin yang memperoleh honorarium sangat tinggi.

Baghdad menjadi ibukota pusat perkembang ilmu pengetahuan, filsafat serta kebudayaan. Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah serta Ulama-Ulama besar lainnya pernah menetap di Baghdad, demikian pula pujangga Ibnu Al-Muqaffa’ dengan karyanya menyalin “Hikayah Kalilah wa Dimnah” yang terkenal, juga menetap di Baghdad. Khalifah Al Ma’mun mendirikan “Lembaga Ilmu Pengetahuan” di Baghdad dengan sebuah institut Filsafat yang diberi nama “Baitul Hikmah”, dalam mana para pujangga dan ahli-ahli filsafat berkumpul, berdiskusi dan membuat karya-karyanya yang besar. Institut tersebut dipimpin oleh Hunain Ibnu Ishaq.
Khalifah Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Mutawakkil adalah sahabat karib dari Ya’qub bin Ishaq bin As Shabah atau yang terkenal dengan nama Al Kindi, seorang ahli-fikir dan pengarang terbesar di zaman Bani ‘Abbas. Bersama pujangga-pujangga lain yang mempelajari serta menterjemah karya-karya Aflatun (Plato) dan Aristhu (Aristoteles atau Aristotle) ke dalam bahasa Arab, maka Al Kindi sendiri telah merampungkan karya-karyanya sejumlah 231 buku karangan dan salinan[11].

Itu baru karya Al Kindi yang hidup pada permulaan abad ke-9 Masehi atau 185 Hijriah. Belum karya-karya Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al Ghazali, Ibnu Bajah (orang Barat menyebutnya Avempace), Ibnu Thufail, dan lain-lain yang kecuali mereka itu menulis karya-karyanya tentang filsafat, juga tentang ilmu-ilmu Islam seperti Fiqih, Tafsir, Hadits, dan sebagainya.

George Zaidan, pengarang bangsa Arab beragama Kristen itu mengemukakan selusin nama-nama pengarang Islam yang sekaligus juga penterjemah karya-karya bangsa asing terutama filsafat Yunani, dan mereka itu menulis karya-karyanya diberbagai bidang ilmu pengetahuan terutama mengenai filsafat:
Misalnya nama-nama: Ibnu Ishaq, Yahya bin ‘Adi, Hunain bin Ibnu Ishaq, Ibnu Na’imah, Abu Basyar, Ibrahim bin Abdillah, Abu Ruh As Shabi, Ibnu Yunus, Al Hajjaj bin Mathar, Muhammad bin Musa, Ahmad bin Musa, Isthafani Ibnu Shalih, Jibillah bin Salim, Abdullah Ibnul Muqaffa’, Ibnu Dahn, dan masih banyak lagi. Hunain bin Ishaq tidak kurang dari 32 buah buku karyanya dalam filsafat Yunani.

Mereka itu kecuali menulis atau mengarang, juga menyalin buku-buku karangan Plato tentang politik, etika, logika, alam, dan karya-karya Aristoteles serta lain-lain failasuf Yunani tentang sajak, musik, psikologi, tentang watak manusia, tentang air dan udara, kedokteran, tatanegara, hubungan antara manusia, tentang keindahan wanita, tentang kejantanan orang-orang lelaki, tentang diskusi, tentang obat-obatan, tentang ilmu bangunan (arsitektur), tentang matematikam tentang nyanyian, dan lain-lain sebagainya[12]. Dari kata “philosophia” orang Arab menyebutnya “falsafah”.
***
Abu Ja’far Al Mansur boleh dibilang penegak Dinasti Bani ‘Abbas sekalipun abangnya, Abdul ‘Abbas As Safah-lah yang memproklamirkan dinasti yang terbesar dalam sejarah Islam, dialah pembangun dinasti pengganti Bani Umayyah yang hampir 90 tahun berkuasa. Akan tetapi karen Abul’ Abbas As Safah hanya pendek masa-jabatannya sebagai Khalifah pertama dinasti Bani Abbas, maka adiknyalah, Abu Ja’fa Al Mansur memberi isi dinasti yang masih baru itu dengan meletakkan dasar-dasar pembangunan negara yang besar.
Mengawali masa jabatannya antara tahun 136 – 158 Hijriah, Abu Ja’far Al Mansur membangun ibukota baru, Baghdad, sekalipun ia sangat sibuk dengan penaklukan-penaklukan serta memadamkan gerakan-gerakan pemberontak dari berbagai kelompok di dalam negeri. Sungguhpun ia mengagumi serta mendalami ilmu Fiqih, namun ia amat menyintai ilmu pengetahuan. Suatu hal yang amat logis, karena di dalam Fiqih mengandung dorongan orang mempelajari di samping Al Qur’an, As Sunnah, ‘Aqaid dan Tashawwuf, juga ilmu ektetika (keindahan), geography (ilmu bumi), astronomi (ilmu falak), ilmu ekonomi, sosial, etika (tata krama) seni baca, dan lain-lain sebagainya termasuk ilmu kesehatan dan ilmu hitung.

Orang Islam sepanjang tahun mengerjakan sembahyang, puasa, zakat, haji. Itu saja mendorong dalam Fiqihnya mempelajari ilmu bumi, falak, ilmu hitung, ilmu kesehatan, etika, seni baca, dan ilmu pergaulan dengan bangsa-bangsa (Haji). Orang Islam wajib beriman, karena itu mestilah memahami Aqaid, dan di dalamnya mengandung metafisika, logika, fisika, psikologi, retorika, etika dan sebagainya.
Dari urainan pendek ini saja dapat dimengerti, mengapa Khalifah-khalifah Bani ‘Abbas memelopori gerakan pengembangan ilmu pengetahuan baik yang bersifat eksakta maupun sosial, metafisika dan politik, karena konsekwensi yang logis berhubung semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam dan berhubung dengan semakin berkembangnya jumlah pemeluk-pemeluk Islam di hampir seperempat penduduk dunia banyaknya. Para Khalifah dan ulama-ulama sangat mendambakan pemeluk-pemeluk Islam itu sebagai Muslimin-muslimat yang berkwalitas, itu hanya bisa dicapai jikalau mereka menjadi orang-orang yang sadar serta konsekwen menjalankan Syari’at Islam. Adapun kunci utamanya ialah ilmu.
George Zaidan menceriterakan, bahwa Khalifah Al-Mansur (Abu Ja’far al Mansur) di tahun 148 Hijriah mendatangkan Jurjis bin Bakhtisyu As-Suryani, seorang dokter terbesar di zamannya yang menjadi pemimpin dokter-dokter di Jandisapur, Persi. Selain seorang dokter paling terkemuka, Jurjis bin Bakhtisyu As Suryani adalah seorang pujangga yang menguasai bahasa-bahasa Suryani, Yunani, Persi dan Arab. Di Baghdad di bawah perlindungan serta fasilitas Khalifah Al Mansur, ia mengarang serta menyalin buku-buku tentang ilmu kedokteran yang berasal dari bahasa Yunani dan Persi ke dalam bahasa Arab. Orang-orang yang diperlakukan seperti Jurjis itu berpuluh-puluh banyaknya, yang membangun semarak Baghdad dengan karya-karya ilmiah dalam bidang astronomi, logika, fisika, fisiologi, matematika, sejarah dan filsafat.

Sekali lagi harus ditekankan di sini, walaupun Baghdad menjadi pusat kaum sarjana serta pengarang dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat, namun di zaman yang bersamaan Baghdad juga menjadi pusat kegiatan Ulama-ulama ahli hadits dan Fiqih seperti Abu Hanifah An Nu’man (yang terkenal dengan nama lain, Imam Hanafi) pembangun Madzab Hanafi. Oleh khalifah Al Mansur beliau sengaja didatangkan dari Kufah untuk menetap di Baghdad. Berkerumunlah Ulama-ulama lain mengelilingi Imam Hanafi, misalnya Muhammad bin Al Hasan, Abu Yusuf Al Qadli, Zafar bin Hudzail, Al Hasan bin Ziyad, Ibnu Sama’ah, Abu Muthi’ Al Bulkhi, ‘Afiyah Al Qadli, dan lain-lain, yang menyemarakkan Baghdad dengan kegiatan ilmiah mereka yang melahirkan kitab-kitab karangan yang besar-besar. Ikut juga menetap di Baghdad dua orang Ulama terbesar di zamannya, masing-masing Imam Syafi’i dan Imam Hanbali. Kkhalifah Amin, saudara Khalifah Ma’mun (keduanya putra Harun Al Rasyid) belajar ilmu bahasa Arab kepada dua Ulama ahli bahasa Arab dan Nahwu yang terbesar di zamannya, ialah masing-masing Al Kasai dan Imam Sibawaih. Sebagai seorang Khalifah bangsa Arab, Khalifah Amin ingin menggunakan bahasa Arab dengan baik, hal mana diikuti oleh Rakyat.

Dengan uraian di atas ini, kita dapat mengukur betapa hausnya zaman Daulah Bani ‘Abbas akan ilmu pengetahuan, dan betapa dimuliakan kedudukan ilmu pengetahuan. Dengan demikian pula tidaklah kita heran, mengapa filsafat memperoleh ruang gerak yang amat longgar sekalipun Bani ‘Abbas sebagai negara dan masyarakat Islam (Arab) telah memiliki “Al Hikmah” sebagai perbendaharaan ilmu pengetahuan serta kebijaksanaan.
Mengapa filsafat memperoleh ruang gerak serta fasilitas dan prioritas dalam masyarakat Islam? Walaupun Ummat Islam bangsa Arab telah memiliki sejak sebelumnya, yaitu “Al Hikmah?”
Tidak dapat disangkal, bahwa Islam satu-satunya Agama yang paling cepat berkembang, belum pernah terjadi dalam sejarah, suatu Agama memekarkan daerah pengaruhnya demikian meluas seperti halnya dengan Islam. Dimulai setelah Hijrah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam, disambung zaman Khulafaur Rasyidin selama 30 tahun, zaman Bani ‘Abbas selama kurang lebih 500 tahun dengan Khalifah-khalifahnya yang lebih dari 50 orang banyaknya dimulai dari Abul ‘Abbas As Safah hingga Al Mu’tashim. Jikalau tidak terjadi “musibah Hulagu Khan” yang menghancurkan Baghdad dengan seluruh kebudayaannya serta membunuh Khalifah dengan segenap keluarganya barangkali dinasti Bani ‘Abbas masih akan berkuasa lebih lama lagi.

Pemeluk Islam yang kian bertambah-tambah itu memerlukan bimbingan serta pembinaan karakter. Mereka harus menjadi orang Islam yang taat menjalankan Syariat Islam, beribadah menurut Syariat Islam, berkepercayaan menurut aqidah Islam, dan bermasyarakat menurut norma-norma yang ditetapkan oleh hukum-hukum Agamanya. Dan, sebagai warga dari suatu negara yang sedang terus tumbuh dan mekar, serta sedang dalam kancah perjuangan dengan bangsa-bangsa lain, orang-orang Islam itu harus menemukan pola-pola politik, ekonomi, sosial dan kultur, yang kecuali dapat ditrapkan dalam tata kehidupan zamannya, juga tidak bertentangan dengan Syara’ Islam. Di sanalah suatu perjuangan besar senantiasa harus diselesaikan sebaik-baiknya.
Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan memegang kedudukan serta peranan sangat penting. Tanpa ilmu tidak akan diketemukan pola dan konsepsi, dan tanpa konsepsi maka perjuangan besar tidak mungkin akan bisa diselesaikan dengan sukses.

Orang Islam memandang bahwa memahami Islam yang bersumber pada Wahyu Ilahi dan Sunnah Nabi itu memerlukan alat keilmuan dalam Qiyas dan Ijma’ sebagai syarat mutlak yang mesti ditempuh, dengan sendirinya memerlukan sarana membanding serta meneliti dan mengambil kongklusi, yang semuanya mestilah mengundang peranan ilmu dan pengetahuan. Tidaklah mengherankan mengapa Ilmu Kalam di dalam Ilmu Tauhid serta ‘Aqaid pada umumnya mempunyai pengaruh sangat besar dalam Fiqih dan dalam Tashawwuf sebagai pokok-pokok inti dalam mempraktekkan Islam baik dalam kehidupan pribadi-pribadi maupun dalam kehidupan bersama sebagai bangsa dan warga dunia.

Akan tetapi orang memerlukan ilmu-ilmu yang lain, yakni: Ilmu-ilmu hasil pengetahuan dan kecerdasan otak atau intelek, misalnya: ilmu alam, kedokteran, hitung, pergaulan, hukum, sejarah, ilmu bumi, ilmu falak, retorika, ilmu keindahan, seni budaya, dan lain-lain. Dan, ilmu-ilmu tersebut di muka itu banyak dijumpai di dalam bidang “Al Hikmah” dan tidak sedikit pula diketemukan di dalam Filsafat.

Itu sebabnya mengapa Dunia Islam terutama di zaman Bani ‘Abbas, orang-orang Islam menerima bidang filsafat dengan tangan terbuka. Menerima bukan untuk ditelan apa adanya, akan tetapi diterima sebagai bahan perbandingan serta penelitian, untuk disaring yang mana dapat diterima untuk dimanfaatkan dalam memahami kebenaran Islam, dan yang mana harus dibuang karena membahayakan kebenaran Islam serta ketertiban masyarakat Muslimin.
Orang-orang Islam terutama para ‘Ulamanya juga menyadari, bahwa orang-orang yang mendalami filsafat hampir seluruhnya bukan orang Islam, mereka beragama Nasrani, Yahudi, Zarasustra, Hindum, dan bahkan tidak beragama seperti halnya orang-orang yang datang dari Yunani. Justru dengan demikian memperlihatkan betapa toleransi yang dipraktekkan oleh orang-orang Islam serta ‘Ulamanya. Selama keilmuannya itu bersifat hasil pemikiran serta pengalaman dan tidak membahayakan aqidah Islam terutama dalam masalah-masalah Iman, maka Ilmu mereka dapat diterima dan dimanfaatkan.

Banyak sekali, orang-orang bukan Islam yang didatangkan ke Baghdad pusat kegiatan serta perkembangan ilmu, mereka itu menjadi guru-guru dalam filsafat, dalam berbagai cabang ilmu kedokteran, ilmu falak, ilmu alam, ilmu politik, ilmu sejarah, ilmu logika, seni, musik, dan sebagainya. Mereka juga menterjemah buku-buku filsafat dari bahasa Yunani atau Persi ke dalam bahasa Arab. Dengan bantuan ahli-ahli bahasa Arab orang Islam, maka usaha penterjemah itu berjalan dengan baik.

Di antara bukan orang Islam yang besar sumbangannya terhadap memperkenalkan filsafat kepada orang Islam di zaman Bani ‘Abbas, ialah: Ibnu Al Patric, Qastha bin Lucas, Tiodores, Hubaisy, Jurjis bin Bakhtisyu, Isa bin Syahala, dan lain-lain[13].

Pergaulan antara kaum pengarang Islam dan bukan Islam terjalin sangat erat, dan dari pergaulan itu mereka saling mempelajari kebudayaan serta bahasa masing-masing. Dengan demikian maka banyak orang-orang asing yang akhirnya menguasai bahasa Arab sebagaimana pengarang-pengarang bangsa Arab menguasai bahasa-bahasa Yunani, Persi, Ibrani, Suryani, dan sebagainya.

Bersamaan dengan dibangunnya kota Baghdad sebagai ibukota Bani ‘Abbas, maka bangun pula suatu kebudayaan baru, kebudayaan “modern” yang bernafas Islam, kebudayaan Arab-Yunani, Arab-Persi dan berkembangnya ilmu pengetahuan seperti belum pernah terjadi dalam sejarah sebelumnya. Dengan perkenalan orang-orang terhadap filsafat dan fikiran-fikiran Yunani dan Persi, maka Baghdad dan Dunia Islam merupakan sebuah kota paling maju, paling makmur dan paling cantik di seluruh dunia. Baghdad memperoleh gelar “ Ishrus ‘Ulum wat taqaddum ” Zaman kemajuannya ilmu pengetahuan, bahkan di kalangan ahli-ahli sejarah diberi gelar “ Arusul Madain wa Sayyidatul buqa “ Pengantin Benua Timur dan Ratu Buana.

Dengan kegiatan dunia ilmu pengetahuan itu, maka berdirilah di Baghdad dan di kota-kota lain dalam Dunia Islam universitas-universitas, lembaga-lembaga studi, dan perpustakaan-perpustakaan yang ketika itu dikenal dengan nama “Darul Hikmah”. Di sana para sarjana dan mahasiswa memperdalam studi ilmiyahnya, mereka datang dari hampir seluruh penjuru dunia. Masjid-masjid dengan arsitektur yang indah bermunculan di sana-sini, demikian pula rumah sakit-rumah sakit serta lembaga-lembaga penyelidikan alam sebagai pelengkap lembaga studi, universitas dan perpustakaan.
Tentu saja ekses-ekses selamanya selalu ada. Ekses lazimnya dilahirkan oleh sikap mental yang berlebihan, mabuk kepayang lantaran over-acting, kelengahan, dan serba kepalang. Filsafat sebagai barang “baru” dan bersifat “luar negeri” membuat sebagian orang menjadi silau, padahal mereka sendiri telah mempunyai Islam ditambah “Al Hikmah” yang keduanya merupakan semacam “filter” dan “refinery” sebagai alat penyaring dan alat pembersih segala yang datang dari luar. Terutama bidang filsafat yang menyangkut masalah metafisika, logika serta kebebasan berfikir. Tentu saja hal itu mencemaskan para Ulama yang karena penguasaannya terhadap Ilmu Syariat, mereka menjadi sadar untuk mencegah “keterlanjuran” atas nama “kemerdekaan berfikir” dalam Islam.

Dalam Islam memang ada kemerdekaan berfikir, dalam arti, selama masalahnya tidak hendak menabrak apalagi menghancurkan Wahyu dan Syariat. Dalam Islam ada faktor Iman sebagai sikap keikhlasan untuk menyerahkan diri berdasarkan kepercayaan batin. Itu sebabnya mengapa Islam juga berarti sikap penyerahan diri kepada Allah. Sikap demikian adalah sikap mengabdikan diri (ibadah) dan sikap demikian tidak semata-mata hasil pekerjaan otak. Islam mestilah dilandasi oleh Iman sebagai pekerjaan batin dan rohani yang memimpin pekerjaan akal fikiran manusia yang mengatur gerak perbuatan sehari-hari dalam mengabdi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan di dalam mengabdikan diri kepada umat manusia.
Maka, filsafat yang kering dari Iman, itu akan membentuk ruang terlampau lebar bagi kemerdekaan berfikir tanpa batas bahkan mengalahkan peranan hati sebagai sumber Iman.
Janganlah dilupan, bahwa salah satu sifat dan pada filsafat ialah memberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya kepada peranan otak dalam berfikir. Pekerjaan berfikir itu semata-mata karena hendak mengetahui kepastian sesuatu persoalan. Apakah setelah itu ia diharuskan percaya atau tidak, hal itu perkara lain. Misalnya dalam menjelajahi alam metafisika menurut filsafat. Apakah alam ghaib itu ada atau tidak, itulah tugas otak untuk berfikir sedalam-dalamnya dan sepanjang mungkin. Setelah diketemukan kongklusinya, maka apakah seorang filosuf harus mempercayainya atau tidak, itu adalah urusan lain. Dengan demikian, maka filsafat selamanya mendudukkan dirinya sebagai “penonton” yang berada di luar garis. Ambillah contoh suatu aliran dalam filsafat mengenai Tuha. Otak manusia digerakkan untuk berfikir dan berfikir, untuk mendakan penyelidikan serta penjelajahan sampai pada satu kesimpulan diketemukan apa itu Tuhan. Kesimpulan dari tugas otak dan fikiran tentang Tuhan, filsafat tidak mau berhenti hingga di situ. Keadaannya menjadi sangat berbahaya, jikalau akhirnya bukan orang harus tunduk serta menyerah kepada otak manusia.
Ambillah contoh lain tentang pragmatisme dalam filsafat.
Pragmatisme pada asasnya hanyalah sekedar satu metode berfikir. Sejak lahirnya filsafat pragmatisme yang masih klasik maupun yang mutakhir menurut teori William James (1842-1910) maupun teori John Dewey (1859-1952) – keduanya ahli filsafat bangsa Amerika – bahwa menurut filsafat pragmatisme, benar dan tidaknya suatu teori dan dalil semata-mata tergantung kepada berfaedah atau tidaknya bagi kehidupan manusia. Suatu hal apakah dinilai benar atau tidaknya tergantung apakah hal tersebut berguna bagi manusia.
Dari kedudukannya sekadar metode berfikir, pragmatisme lambat laun memasuki – di samping – alam pemikiran, juga memasuki alam kepercayaan dan keyakinan. Dari sekedar metode berfikir, pragmatisme hendak mengatur alam keyakinan hidup, alam metafisika, agama dan alam ghaib. Dengan pragmatisme orang hendak bersikap “praktis” dalam beragama, sampai pada satu kesimpulan yang sederhana, bahwa beragama ataupun tidak ditentukan oleh penilaian keuntungan meteriil yang kongkrit. Tegasnya, kalau beragama itu merugikan kemajuan, maka Agama harus disingkirkan. Kalau menjalankan ibadah itu mengurangi jam kerja dan mempengaruhi produksi, maka ibadah harus ditiadakan. Segalanya harus untuk sekarang – misalnya kemakmuran dan modernisasi – tidak boleh dikalahkan untuk kebutuhan nanti yang “belum pasti” (yaitu alam sorga) .... !
Islam melerai pertentangan antara otak dan hati, antara intelek dan keyakinan. Sebagai Agama, Islam memberi kesempatan seluas-luasnya kepada pemikiran otak dengan catatan, bahwa otak haruslah “tahu diri” bahwa kekuasaannya terbatas sekali. Sepandai-pandai seorang intelektual ia pasti tidak bakal tahu kapan datangnya saat lengah atau rasa kantuk kepada dirinya. Dan lengah atau kantuk yang hanya beberapa detik itu akan mematikan seluruh kemampuan berfikir. Belum lagi masalah mati dan kapan datangnya kematian. Seperti juga sepandai-pandai orang tak mungkin tahu persis apa yang bakal terjadi satu dua menit di mukanya, maka iapun tidak tahu persis kapan datangnya kematian, caranya dan di mana.
Sebab itu Islam memberi landasan bagi kecenderungan otak yang berupa sebuah ruang keyakinan atau Iman di dalam dadanya. Itu sebabnya maka Agama Islam datang dengan perantaraan Wahyu sebagai Kasih Sayang Tuhan untuk menolong manusia memberikan landasan kokoh bagi kegiatan otak dalam berfikir.
Pragmatisme sebagai ciptaan manusia tidak akan mungkin dapat menandingi, apalagi mengalahkan Agama sebagai Wahyu Ilahi. Kebijaksanaan manusia serta terbatas, dan kemampuan berfikirnyapun terbatas pula. Sedangkan menurut filsafat sendiri bahwa segalanya berubah, termasuk juga pekerjaan otak senantiasa mengalami perubahan-perubahan, betapa pula dapat disejajarkan (apalagi menandingi) Ke-Maha Bijaksanaan Allah yang selamanya tangguh tidak tergoyahkan oleh kekuatan manapun. Filsafat, baru lahir sejak masa seorang manusia Yunani bernama Thales dan Anaximandros lahir ke dunia 600 tahun sebelum Nabi ‘Isa. Padahal Agama berdasarkan Wahyu Ilahi telah diturunkan bagi ummat manusia sejak manusia-pertama mendiami bumi, ialah Nabi Adam dan Ibu Hawa, berpuluh ribu tahun sebelum kelahiran Thales dan Anaximandros.
Dalam sejarah Eropa abad pertengahan memberi petunjuk kepada kita, bahwa kekacau-balauan dalam dunia Kristen pada hakikatnya yang meng”hamiltua”kan lahirnya kebebasan berpikir. Demikian bebasnya kemerdekaan berfikir hingga orang seperti Copernicus dan Giordano Bruno – seperti yang telah teruraikan di muka – berani menentang hukuman dibakar hidup-hidup yang dijatuhkan oleh keputusan Gereja. Akan tetapi seorang intelektual lain, Galileo Galilei (1564-1642) yang mempunyai penemuan ilmiah berdasarkan kebebasan berfikirnya, terpaksa mencabut atau menarik penemuan ilmiahnya berhubung tidak berani menghadapi ancaman hukuman Gereja.
Galileo menjadi gentar dan takut. Sudah tentu gentar dan takut bahkan bukanlah produk otak, akan tetapi hasil pekerjaan hati dan perasaan. Galileo menambah pelajaran bagi kita, bahwa kemerdekaan berfikir mempunyai batas terakhir manakala berhadapan dengan kekuasaan hati, lepas dari penilaian kita terhadap sikap dan pendirian sarjana ahli fisika dan bintang bangsa Itali itu, ialah bahwa supremasi otak yang dibanggakan itu memanglah terbatas. Ada sesuatu yang dapat mengalahkannya. Sesuatu itu, tak lain tak bukan adalah hati dan jiwa.
*
* *
Ekses lain yang ditimbulkan oleh ajaran filsafat ialah pengaruh ajarannya yang bisa merusak Aqidah Ummat Islam, jika filsafat itu menggantikan kedudukan Iman. Filsafat yang berasal dari Yunani itu telah banyak disalin ke dalam bahasa Arab. Dalam keadaan ummat Islam sedang amat menggandrungi ilmu pengetahuan, jika mereka tidak waspada atau karena tipis iman, maka ajaran filsafat yang ditelan apa adanya akan sangat membahayakan.
Terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan secara aniaya membangkitkan emosi yang memuncak ke pihak Muawiyah untuk menuntuk bela. Ibukota Madinah yang dilanda pemberontakan itu sehingga menewaskan jiwa Khalifah memerlukan pemerintahan yang kuat. Huru-hara dan chaos itu tidak boleh berlarut-larut. Berhubungan dengan itu maka pemimpin-pemimpin yang bertanggung jawab dan yang mendapat dukungan mayoritas warga negara melangsungkan pemilihan kepala negara. Terpilihnya Sayyidinia Ali sebagai Khalifah ke-4.
Hal tersebut menimbulkan salah-faham di fihak Muawiyah yang didukung kelompok yang keras menuntut bela kematian Utsman mereka menuduh Sayyidina Ali tidak mengambil initiatif untuk menindak kaum pemberontak, bahkan jarum adu domba membuat provokasi seolah-olah Sayyidina Ali berdiri di belakang kaum pemberontak karena ambisinya menjadi Khalifah. Walaupun pihak Sayyidina Ali membersihkan diri untuk menolak tuduhan tersebut disertai alasan kuat yang logis, bagaimana dapat menindak huru-hara jikalau ibukota mengalami kekosongan kekuasaan? Maka jalan yang paling masuk akal untuk ditempuh ialah mendirikan kekuasaan (pemerintahan) yang bertugas mengembalikan ketertiban serta menindak kaum anarkis. Akan tetapi sentimen dan emosi yang menguasai segala-galanya, pertimbangan dan pikiran-sehat tidak memperoleh tanggapan secara wajar. Terjadilah perang-saudara antara Muawiyah dan Sayyidina Ali dalam kancah pertempuran yang dikenal sejarah sebagai “Perang Shiffin”. Manakala pihak Muawiyah terdesak dan berada dalam posisi yang payah, mereka mengajak damai. Sayyidina Ali menerima ajakan damai tersebut karena tujuannya sejak semua memang hendak mengembalikan ketertiban dan persatuan ummat.
Segolongan dari pendukung Sayydina Ali menentang kebijaksanaan perdamaian itu, bahkan menuduh bahwa Sayyidina Ali telah bertindak salah, dan politik kompromi tersebut merugikan Islam. Golongan paling ekstrim dari mereka mengecap Sayyidina Ali sebagai telah “kafir”, dan mereka memisahkan diri serta keluar dari barisan Sayyidina Ali. Mereka menamakan dirinya “Golongan Yang Keluar Memisahkan Diri” atau dalam istilah mereka, “Golongan Khawarij”. Tiap tindakan ekstrim tentu akan menimbulkan sikap radikal di pihak lain, oleh sebab itu di kalangan pendukung Sayyidina Ali yang fanatik menamakan dirinya “Golongan Syi’ah”.
Dimulai dari persoalan pertentangan politik, menjalar memasuki persoalan Aqidah, siapakah yang lebih berhak memangku jabatan Khalifah menurut hukum Islam. Bahkan lebih jauh lagi jangkauannya, pertentangan itu menjadi kian melebar menyangkut masalah dosa dan tidak dosa, dan masalah kafir dan tidak kafir.
Demikianlah berlangsung pertentangan yang berlarut-larut bertahun-tahun hingga datang masanya zaman Bani Umayyah berkuasa dan memindahkan ibukota dari Madinah ke Damaskus.
Muncullah pada suatu ketika golongan “netralis” yang menamakan dirinya “Mu’tazilah”, yang menempatkan dirinya menduduki posisi di antara dua kelompok yang bersengketa, atau dalam bahasa Arab disebut “Al Manzilah bainal Manzilatain”. Meskipun lahir pula kelompok-kelompok kecil seperti “Rafidlah”, “Murji’ah”, dan lain-lain, namun “Syi’ah” – “Khawarij” – “Mu’tazilah” merupakan golongan yang paling menonjol berkampanye merebut simpati ummat Islam dari tahun ke tahun. Mereka melakukan kampanye baik secara sembunyi-sembunyi maupu nsecara terbuka di mana ada kesempatan.
Jikalau “Khawarij” lebih menitikberatkan gerakannya di bidang politik, tetapi lambat-laun menjadi semakin kendor berhubung dengan sikap kepencilannya yang ekstrim hingga menghadapi banyak musuh, maka “Syi’ah” dan “Mu’tazilah” lebih menitik beratkan kegiatannya di bidang Aqidah terutama teologi, walaupun “Syi’ah” pada saat dipandang tepat melakukan kampanye juga di bidang politik.
“Mu’tazilah” lebih banyak kegiatannya di bidang konstruksi berpikir dalam Aqidah dan dalam teologi beraliran kebebasan berpikir. Karena kedudukannya sebagai “kaum intelektual salon” maka orang-orang “Mu’tazilah” senantiasa berusaha mendekati golongan yang sedang berkuasa untuk mempengaruhi kebijaksanaan dalam pemerintahan serta untuk memperkembang doktrin-doktrin mereka melalui segala fasilitas istana. Usaha mereka sekalipun tidak selamanya berhasil, namun tidak pernah mengalami jalan buntu. Mereka giat, ulet dan penuh kesabaran. Demikianlah berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya, sampai pada suatu ketika di zaman Bani ‘Abbas mereka sering memperoleh angin. Konon, Khalifah Ma’mun yang terkenal itu menjadi salah satu pengikut “Mu’tazilah” hingga dengan dekrit Khalifah menetapkan bahwa “Mu’tazilah” merupakan madzhab negara.
“Mu’tazilah” adalah sebuah gerakan berpikiran bebas, condong menganut pikiran liberal terutama dalam bidang Aqidah dan Teologi Islam. Salah satu buah ajarannya melahirkan suatu aliran yang bernama “Qadariyah” yang di kalangan Barat kemudian terkenal sebagai sebagai “free-will, free-act”, artinya Manusia bebas mempunyai kehendak atau keinginan, karena itu bebas pula bertindak dan berbuat.
Salah satu faham yang dikampanyekan dan yang paling menggemparkan Dunai Islam, ialah Bahwa Al Qur’an itu bukanlah Qadim, akan tetapi Hadits. Artinya, bahwa Al Qur’an itu bukanlah sebagai Kalamullah atau Firman Allah itu bukanglah sesuatu yang tak bermula atau kekal, akan tetapi sesuatu yang baru, dus Al Qur’an sebagai Firman Allah tetaplan makhluk.
Gerakan Mu’tazilah yang dilindungi oleh Khalifah Ma’mun semakin memperoleh ruang bernafas dengan banyaknya buku-buku filsafat dari Yunani yang disaling ke dalam bahasa Arab. “Mu’tazilah” dan filsafat sama-sama berasaskan kebebasan berpikir dan oleh sebab itu dengan fasilitas pihak yang berkuasa maka fikiran-fikiran liberal mengalami zaman emas.
Dengan dalih membangun modernisasi dalam konstruksi berpikir secara rasional, sesuai dengan karakter Islam yang memberikan kemerdekaan berpikir, maka para Ulama ahli-ahli fiqih, aqoid, hadits, dan lain-lainnya menjadi sasaran serangan mereka sebagai golongan jumud (beku), konservatif, dan kaum terbelakang. Tentulah hal tersebut menimbulan kegemparan di kalangan Dunia Islam.
Seorang Ulama besar Ahmad bin Hanbal atau lebih terkenal dengan nama Imam Hanbali (pendiri Madzhab Hanbali dan murid kebanggan Imam Syafi’i) tampil ke depan mempelopori gerakan menentang “Mu’tazilah”. Para Ulama berdiri di belakang Imam Hanbali. Oleh karena “Mu’tazilah” dilindungi serta didukung oleh pihak Istana Khalifah, dengan sendirinya hubungan antara Imam Hanbali dan para Ulama di satu fihak dengan pihak penguasa di pihak lain, amat tegang. Imam Hanbali dipenjarakan dan Ulama lain ditangkapi.
Keadaan menjadi anek sekali. Khalifah bersama-sama kaum “Mu’tazilah” dan kaum sarjana filsafat bangsa asing berdiri dalam satu barisan menghadapi para Ulama dan Ummat Islam di pihak yang lain. Seluruh Dunia Islam berada dalam ketegangan-ketegangan yang menggoyahkan potensi ummat Islam pada umumnya.
Akan tetapi syukur alhamdulillah, keadaan demikian yang berlangsung selama kurang lebih 20 tahun itu segera berakhir. Tatkala Khalifah Al Mutawakkil memegang kekuasaan, Khalifah yang bijak itu mengakhiri masa ketegangan. Dekrit Khalifah Ma’mun yang menetapkan “Mu’tazilah” sebagai madzhab negara, dicabut. Gerakan “Mu’tazilah” dilarang. Pemimpin-pemimpin “Mu’tazilah” seperti Wasil bin ‘Atha’, An Nazzham, ‘Amr bin Ubaid, dan Abu Hudhail menghadapi banyak sekali tantangan dan dengan susah payah memelihara keselamatan jiwanya.
Sebelum seorang Ulama besar bernama Imam Abul Hasan Al Asy’ari memproklamirkan diri keluar dari “Mu’tazilah”. Beliau menyadari akan kesalahan-kesalahan pahjak “Mu’tazilah” dalam mengetrapkan kemerdekaan berfikir dalam Islam sehingga menimbulkan faham Aqidah yang merusak itu. Ajarannya di bidang ‘Aqaid atau At Tauhid terkenal dengan nama “Al Asy’ariyah”.
Sepuluh tahun kemudian yakni pada tahun sekitar 944 Masehi di Samarkand tampir seorang Ulama besar bernama Imam Abu Mansur Al Ma’turidi memperkuat paham yang diajarkan Mu’tazilah. Ajarannya terkenal dengan nama “Al Ma’tudiriyah”. Kedua ajaran “Al Asy’ariyah” dan “Al Ma’tudirinyah” itulah yang dalam bidang ‘Aqaid atau Ushuluddin dikenal oleh Dunia Islam sebagai ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dipeluk oleh mayoritas terbesar Ummat Islam seluruh dunia.
Filsafat menghadapi tantangan yang berat. Dunia Islam sangat kritsi terhadap faham-faham yang terkandung di dalamnya, bahkan ajarannya tentang metafisika dan ilmu alam yang tidak mengakui ke Maha Kekuasaan Allah dalam mencipta serta mengatur perjalanan semesta alam, dinyatakan sesat dan menyesatkan, sedang siapa yang mengikutinya dinyatakan zindiq (kafir-zindiq) artinya keluar dari Islam.
Imam Ghazali (1058-1111 Masehi) di kalangan Dunia Islam sebagai seorang Ulama yang sangat luas ilmu di berbagai bidang. Ilmunya bukan semata-mata hasil dari penyelidikan akal yang diperlengkap dengan argumentasi retorika sebagaimana halnya dengan orang-orang ahli filsafat, akan tetapi ilmu-ilmu Imam Ghazali memancar dari hati sanubarinya bagaikan mata-air yang bening jernih. Beliau seorang mahaguru Tashawwuf yang mengeritik orang-orang Tashawwuf yang mengabaikan upacara-upacara ibadah menurut ilmu fiqih. Dalam pada itu Imam Ghazali pun mengeritik orang-orang yang menjalankan upacara-upacara ibadah akan tetapi tidak meresapi arti maknanya yang lezat lantaran jiwanya tidak bersih, karena meninggalkan Tashawwuf. Dengan lain perkataan, maka Imam Ghazali merupakan tokoh yang mempersatukan gerakan-gerakan zhahiriyah (fiqih) yang diperlengkapi dengan pengetahuan yang mantap (ilmu) serta dihayati oleh kelezatan berbakti (tashawwuf).
Mengenai filsafat, Imam Ghazali tidak apriori menentang tetapi juga tidak menelan begitu saja. Dalam keadaan tertentu orang boleh berfilsafat, akan tetapi di mana tidak memerlukan filsafat, maka filsafat ditinggalkan. Oleh sebab itu menurut Imam Ghazali, ada bagian-bagian dalam filsafat yang bisa diterima oleh Islam, akan tetapi juga ada bagian-bagian lain yang sangat ditentang oleh Islam. Ilmu pasti atau matematika tidak dilarang oleh Islam, akan tetapi jika mengenai Ke-Tuhanan orang juga hendak memahami Tuhan secara matematik – yang tidak mungkin akan dapat dijumpai – maka demikian itu tentulah terlarang. Dengan mempelajari ilmu alam maka orang menjadi semakin ber-Iman terhadap Ke-Maha Kekuasaan Allah.
Orang yang mempelajari karya-karya Imam Ghazali tentulah akan menjumpai betapa cermatnya memperinci fungsi serta peranan pengetahuan. Misalnya tentang teori logika dalam filsafat. Logika lain tidak hanyalah kupasan tentang bagaimana membuat dalil-dalil atau alasan, mengemukakan pembuktian dan syarat-syarat pembuktian atau burhan, menyusun ta’rif atau definisi disertai qias dan silogisme serta sinonim, semuanya itu untuk menyusun argumentasi atau hujjah yang bertujuan untuk membuktikan suatu kebenaran yang haq.
Akan tetapi mengenai metafisika dalam filsafat yang membahas perkara ghaib terutama Ke-Tuhanan, Imam Ghazali menentang keras, disebabkan filsafat yang demikian itu amat sesat dan menyesatkan. Pendirian Imam Ghazali adalah Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Dua buku karangan Imam Ghazali, masing-masing: “Tahafutul Falasifah” (Keblingernya Filsafat) dan “Al Muqidz minadl-dlalal” (Penyelamat dari kesesatan), merupakan kritik terbuka terhadap sarjana-sarjana Muslimin yang hanyut dalam dunia filsafat karena sangat mendewakan ratio dan hendak meliberalkan Iman. Dua buku tersebut amat menggemparkan mereka yang merasa terkena oleh kritik Imam Ghazali. Salah seorang sarjana Islam, Ibnu Rusyd, di kalangan Barat terkenal dengan nama Averroes, mereka kritik Imam Ghazali ditujukan kepadanya. Ia mengangkat pena dan menerbitkan bukunya berjudul “Tahafutut Tahafut” (Keblingernya orang yang keblinger), tentulah buku tersebut ditujukan kepada Imam Ghazali, berisi pembelaan terhadap fahamnya tentang filsafat.
Bagaimanapun, Dunia Islam menjadi sangat hati-hati terhadap filsafat. Filsafat hanya bisa diambil seperlunya sebagai pelengkap argumentasi tentang kebenaran Islam, akan tetapi dalam hal yang Islam telah sangat jelas dengan ajaran-ajarannya, maka orang tidak memerlukan filsafat. Bahkan bagian-bagian filsafat yang hendak membongkar atau melenyapkan kebenaran Islam, misalnya tentang “kodrat” makhluk dan faham metafisika yang menyalahi Ahlus Sunnah wal Jama’ah haruslah ditentang.
Kritik Imam Ghazali terhadap filsafat merupakan canang yang memperingatkan Ummat Islam agar tidak gegabah dalam menerima ajaran filsafat atas nama kebebasan berfikir. Dari filsafat memang bisa diambil manfaatnya, misalnya mengenai penemuan-penemuan ilmu eksakta, atau tentang metode berfikir, menganalisa, dan menguraikan argumentasi. Akan tetapi bahayanyapun sangat besar bilamana filsafat menggantikan kedudukan kepercayaan dan keyakinan mengenai ketidak terbatasan dari alam sebagai benda yang “maha kuasa”. Mendewakan materi sepanjang logika semata-mata atas nama kebebasan berfikir, maka mudah sekali menjerumuskan seseorang menjadi atheis yang tidak percaya akan Tuhan atau percaya bahwa Tuhan tidak ada. Kepandaian retorika ala filsafatpun bisa membuat kesimpulan bahwa Tuhan itu ada. Akan tetapi “Tuhan” yang berselubung di balik uraian yang tersusun begitu bagus untuk menyembunyikan kongklusi yang sebenarnya bahwa “Tuhan” cumalah benda juga atau sekadar angan-angan yang menurut rumus filsafat adalah “the outward projection of man’s inward nature” (proyeksi yang keluar dari batin pembawaan manusia). “Tuhan” bagi mereka bisa matahari, bisa atom, bisa kekuasaan atau uang, dan sebagainya.
Di dalam kitabnya yang terkenal “Ihya’ ‘Ulumuddin” misalnya, Imam Ghazali mengupas panjang lebar tentang pentingnya fungsi dan peranan ilmu, anjuran kepada Ummat Islam untuk menuntut sebanyak-banyaknya ilmu diberikan motivasi pahala akhirat dan manfaat duniawi dengan mengemukakan begitu banyak Hadits Nabi Besar Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Dijelaskan tentang tingkatan-tingkatan ilmu yang harus dituntut atau dipelajari. Dimulai dengan ilmu-ilmu yang wajib dipelajari bagi tiap-tiap Muslim (fardlu ‘ain) misalnya tentang ilmu Ushuluddin dan ilmu Syari’at. Setelah itu anjuran untuk mempelajari ilmu-ilmu yang menjadi syarat tegaknya suatu masyarakat misalnya ilmu politik, ekonomi dan sosial. Dan akhirnya Imam Ghazali menganjurkan agar orang Islam mempelajari ilmu-ilmu matematika, alam, kedokteran, falak, perindustrian, pertanian, tekstil, perikanan, perniagaan, dan lain-lain sebagainya.
Dengan demikian, maka Imam Ghazali memperinci filsafat menjadi cabang ilmu pengetahuan yang positif dan negatif. Dan bagaimanapun juga orang mestilah mendalami arti ber-Agama Islam terlebih dahulu sebelum mempelajari filsafat dengan sikap kritis dan penuh kewaspadaan.
Begitu banyaknya buku-buku filsafat Yunani yang disalin ke dalam bahasa Arab di zaman Bani ‘Abbas seperti yang telah kita uraikan di muka, menyebabkan begitu banykanya orang-orang asing terutama dari Barat yang menyinggahi Baghdad dan negeri-negeri Islam. Mereka datang untuk mempelajari filsafat yang telah hilang dalam jangka waktu berabad-abad dari negeri asalnya yaitu Yunani. Buku-buku tersebut mereka salin ke dalam bahasa Latin yaitu bahasa kaum terpelajar di Eropa pada waktu itu. Dari bahasa Latin akhirnya mereka salin ke dalam bahasa mereka masing-masing (Inggris, Perancis, Spanyol, Jerman, Italia), dan sebagainya. Maka benarlah peribahasa yang mengatakan: “Kalau tidak karena Baghdad, dunia tidak akan mengenai Yunani”, dan peribahasa lain: “Kalau tidak lantaran Baghdad, Eropa tetap dalam kegelapan”.
Baghdad tentu bukan satu-satunya kota peradaban dan ilmu pengetahuan. Di samping Baghdad juga Cordova dan Granada di Spanyol, Kairo di Mesir, Bukhara dan Samarkand di Asia Tengah, dan Istambul di Turki.
Orang-orang Eropa mengunjungi negeri-negeri Islam itu bukan semata-mata mempelajari filsafat, tetapi juga metafisika, ilmu alam, falak, dan mempelajari ilmu-ilmu Islam. Bukan untuk menjadi orang Islam, akan tetapi mempelajari Islam sebagai pengetahuan, Islam sebagai “Islamology”. Karena orang-orang Islam ketika itu merupakan faktor kemenangan dan peradaban, maka orang-orang Barat tertarik untuk mempelajari Islam untuk pengetahuan semata-mata. Itulah asal mula lahirnya suatu kelompok orang Barat yang dikenal sebagai “Orientalist”, ahli ketimuran.
Dengan munculnya kelompok “Orientalist” maka sekalipun mereka cuma sekadar ingin tahu tentang seluk-beluk Islam sebagai “pengetahuan” (dikemudian hari amat penting manfaatnya bagi politik kolonialisme mereka), namun, bagaimanapun Islam dan perbendaharaan ilmiyahnya menjadi tersebar ke seluruh dunia. Jangan lupa, kelompok “Orientalist” itu terdiri dari berbagai bangsa di Eropa, dan mereka menulis buku-buku tentang Islam dalam bahasa-bahasa penting di Eropa.
Sebaliknya, dengan sikap kritis dan kewaspadaan para ‘Ulama terhadap filsafat, maka orang-orang Islam mempelajari filsafat disertai pembatasan-pembatasan. Artinya mengambil filsafat sekadar yang perlu dan meninggalkan yang bertentangan dengan sendi-sendi kepercayaan Islam. Apa yang dikatakan oleh guru filsafat terkemuka Aristoteles yang banyak dikutip orang-orang Islam dipegang teguh. Aristoteles pernah mengatakan: “Marilah kita berfilsafat manakala keadaan menghendaki kita berfilsafat. Kalau keadaan tidak memerlukan berfilsafat, maka kita harus berfilsafat pula untuk membuktikan bahwa berfilsafat itu tidak perlu”[14].
Dengan memegang teguh ajaran guru filsafat sendiri, maka sarjana-sarjana Islam dalam “berfilsafat” menggunakan teori konstruksi berfikir melalui metode yang sistematis menurut filsafat, untuk menguatkan argumentasi mereka tentang kebenaran-kebenaran Islam. Merekalah yang terkenal dalam sejarah dan kebudayaan Islam sebagai “Failasuf Islam”.

[1] William K. Wright – “A Histroy of Modern Philosophy” – The MacMillan Company, New York 1962, cetakan ke-17.
[2] Ensiklopedia Indonesia (F-M) – Penerbitan W. Van Hoeve – Bandung- ‘s-Gravenhage. (tak disebut tahun penerbitannya)
[3] Albert E. Avey – “Handbook in the history of Philosophy” – Barnes & Noble, Inc. New York 1965. Cetakan ke-10
[4] Albert E. Avey – “Handbook in the history of Philosophy” – Barnes & Noble, Inc. New York 1965, cetakan ke-10.
[5] Ensiklopedia Indonesia (F-M) – Penerbit N. V. W. Van Hoeve Bandung – ‘s-Gravenhage (Tanpa disebut tahun penerbitannya).
[6] Encyclopaedia Britannica, volume 9 – Cetakan Amerika tahun 1965 halaman 222.
[7] Dr. Mohammad Hatta – “Alam Pikiran Yunani” – II – Penerbit Tintamas Jakarta 1964, cetakan ke-5.
[8] Ibid.
[9] Dr. Oemar Amin Hoesin – “Filsafat Islam” – Penerbit “Bulan Bintang” Jakarta 1964.
[10] “Al Munjid” – Penerbitan Beirut cetakan ke-18 – Percetakan Katholik 1965.
[11] George Zaidan – “Tarikh Tamaddunil Islami” jilid III – Penerbit: “Darul-Hilal” Cairo (tidak disebut tahun penerbitannya, akan tetapi diperkirakan sekita tahun 1910).
[12] Ibid.
[13] George Zaidan – “The Tamadduni Islami III – Penerbit “Darul Hilal” Cairo.
[14] A. Hanafi, M.A. – “Pengantar Filsafat Islam” – Penerbit “Bintang Bulan” – Jakarta 1969.