Rabu, 25 Februari 2009

IQ Tinggi Bukan Segala-galanya

I PDF Print E-mail

TANJUNG REDEB – Suara anak-anak terdengar riuh di halaman olahraga di Jl Pemuda, menyambut kehadiran Ketua Komnas Perlindungan Anak Dr. Seto Mulyadi, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Kak Seto. Ia hadir dalam acara bertema “Bermain bersama dengan dengan Kak Seto” yang diselenggarakan Himpaudi Berau dalam Gebyar PAUD program Disdik Berau. Kak Seto disambut gembira oleh anak-anak maupun kalangan orang tua. Kak Seto membuka acara dengan mengajak anak-anak untuk bergembira bersama dengan bernyanyi bersama, mendengarkan dongeng, menyaksikan pertunjukan boneka dan atraksi sulap. Dilanjutkan dengan presentasi dan diskusi bertema “Interaksi Ibu dan Anak di Era Global”.

Dalam paparannya, Kak Seto menyayangkan sistem pendidikan di Indonesia yang lebih menekankan pada pengembangan otak kiri (logika, sistematika dan hapalan). Menurutnya, kurikulum pendidikan yang kurang memihak pada anak, menjadikan anak tidak lagi memiliki waktu untuk bermain dan mengeksplorasi kreativitasnya.

Ia menekankan bahwa pada dasarnya semua anak cerdas, unik, otentik, dan tidak dapat dibanding-bandingkan, serta pada dasarnya semua anak senang belajar. Oleh karena itu, kecerdasan anak tidak hanya dapat dilihat dari sisi akademis, mengingat IQ bukan segala-galanya. Masih ada creativity quotient (CQ), social quotient (SQ), dan emotional quotient (EQ) atau lazim disebut sebagai multiple-intelegensia.

Para orangtua yang khawatir anaknya tidak dapat bersaing di era global, sering memaksakan anak-anaknya untuk mengikuti sekolah sejak usia dini. Untuk itu, Kak Seto mengimbau agar orangtua dapat memahami hak anak dan menjalin komunikasi secara efektif.

Acara yang dihadiri seluruh unit Himpaudi Berau dan ketua penggerak PKK Berau Seri Marawiah Makmur, Kadisid Berau Rohaini, ketua Himpaudi Berau Listia F Indriyana ini berlangsung dengan meriah dan interaktif. Beberapa saran yang diberikan Kak Seto, cukup praktis untuk diterapkan dan mendapatkan tanggapan yang positif.

Kak Seto yang 25 tahun lalu pernah menulis artikel mengenai “sindrom anak Deplu”, juga menawarkan solusi home-schooling bagi anak-anak yang saat kembali dari mengikuti orang tuanya bertugas di luar negeri, belum dapat mengikuti beberapa muatan kurikulum pendidikan di Indonesia. (bm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar