Jumat, 16 Januari 2009

Model Pembelajaran Membunuh Pendidikan

Model pembelajaran
Membunuh Pendidikan

Posman Sibuea

Harian Kompas, Senin, 21 Mei 2007, Belakangan ini muncul beragam kritik terhadap praktik pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah proses pembelajaran yang berlangsung hanya sekadar mengejar target pencapaian kurikulum. Hal ini telah berlangsung lama dan menjadi proses yang membunuh pendidikan.

Fenomena ini menjadi topik diskusi aktual dalam rangkaian peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini untuk mengingatkan pendidikan di Indonesia dibayang-bayangi perapuhan nilai.

Ketika proses pendidikan diarahkan semata mengejar pencapaian tujuan kurikulum, institusi sekolah telah diposisikan sekadar pabrik yang membidani lahirnya tukang yang ahli pada bidang tertentu. Perakitan produk akhir demikian bermuara kepada proses matinya pendidikan.

Secara perlahan tapi pasti, sekolah direduksi menjadi semacam arena pendidikan dan latihan (diklat) untuk mengondisikan lulusan siap pakai.

Bahwa sekolah mempersiapkan alumninya ke pasar kerja, jelas hal penting. Namun, dalam tataran kebudayaan, tujuan ini tidak seluruhnya benar karena lembaga pendidikan tidak semata pusat pemintaran intelektual.

Secara pedagogis adalah sesat jika keberhasilan kognitif terlalu didewa-dewakan sebagai alat representasi prestasi siswa di sekolah dan memarjinalisasi sistem pendidikan nilai yang berkaitan dengan budi pekerti.

Semakin kabur

Revitalisasi pendidikan nilai yang dapat membentuk budi pekerti kian penting dimaknai ketika dalam kehidupan masyarakat makin kabur kriteria moral yang dapat digunakan sebagai acuan untuk berperilaku.

Ketika di sekolah terjadi penganiayaan fisik, lembaga pendidikan yang menaburkan benih-benih demokratisasi ini bukan lagi tempat yang steril dari segala macam bentuk kekerasan.

Kasus kekerasan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang menewaskan praja Cliff Muntu dan penembakan di Virginia Tech University, Amerika Serikat, yang menewaskan 33 orang—salah satunya warga negara Indonesia, Partahi Mamora H Lumbantoruan—merupakan serpihan contoh yang menyadarkan bahwa kekerasan kerap berulang di sekolah.

Tak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara adikuasa seperti Amerika Serikat yang mengedepankan kepentingan hak asasi manusia.

Kasus kekerasan fisik di IPDN amat memprihatinkan sebab terjadi di lingkungan pendidikan tinggi, yang seharusnya menjadi tempat belajar yang jauh dari tindak kekerasan.

Ironisnya, pendidikan yang diwarnai dengan tendangan bebas ke dada mahasiswa dan pukulan bertubi-tubi mematikan ke ulu hati terjadi di sekolah yang justru diadakan untuk menggodok para pemimpin bangsa di masa datang.

Pertanyaannya, calon pemimpin seperti apa yang bisa diharapkan menetas dari lembaga pendidikan yang mengedepankan otot ketimbang otak itu?

Kekerasan di dunia pendidikan tidak pernah surut. Benih kekerasan yang disemaikan dalam media perpeloncoan, misalnya, terus diwariskan kepada generasi berikutnya dan menjadi awan gelap yang menutupi pancaran sinar pencerahan pendidikan nilai.

Meski perpeloncoan sudah dihapus sejak tahun 1995, kegiatan ini masih terus bergulir seperti bola salju di sejumlah kampus untuk menumbuhkan disiplin bagi mahasiswa baru.

Ada dugaan, perpeloncoan yang dikemas dalam bingkai pendidikan ala militer yang bias acap menjadi pembenaran bagi senior untuk menindas mahasiswa baru. Perpeloncoan dengan hukuman fisik bukan lagi situasi yang insidentil yang dilakukan antara senior dan yunior, tetapi sudah berubah menjadi suatu situasi massal yang sistematis dan terorganisasi secara rapi.

Ujian nasional

Proses yang membunuh pendidikan, pemaknaannya terus bergerak melewati ruang kekerasan fisik untuk menukik masuk ke dalam sistem kekerasan bentuk lain.

Perilaku agresif untuk menekan atau menyerang dengan kata-kata (bullying), seperti ejekan untuk mempermalukan, hinaan, tekanan, dan fitnah, dengan maksud mendehumanisasi orang lain dapat disebut telah melakukan tindak kekerasan dalam bentuk lain.

Pelakunya tidak hanya siswa/mahasiswa senior, tapi kita sebagai orangtua (guru, dosen, pejabat, pemuka agama, elite politik, dan lain-lain) dapat melakukan bullying terhadap orang lain.

Tindakan bullying sudah menjadi keseharian dalam lembaga pendidikan di Tanah Air, mulai dari tingkat TK/SD hingga universitas. Korbannya tidak lagi hanya siswa yang gantung diri karena sering diejek temannya sebagai anak tukang bubur. Korban lain adalah siswa SLTP yang meninggal beberapa waktu lalu di Semarang karena penyakit jantungnya kambuh tiba-tiba saat mengikuti ujian nasional (UN) 2007.

Beban depresi berat bisa dialami peserta UN karena berada di bawah tekanan dari pernyataan pemerintah mengenai UN sebagai penentu kelulusan.

Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah menanggapi kritik yang mempersoalkan kebijakan pemerintah mengenai UN sebagai penentu kelulusan. Wakil Presiden mengatakan, dunia pendidikan tak ubahnya seperti produk pakaian jadi. Konsumen tidak mempersoalkan bagaimana proses pembuatan pakaian itu. Yang penting apakah setelah jadi, baju tersebut bagus atau jelek.

Semangat mengutamakan produk akhir dalam tujuan pendidikan kini kian mengental dengan terselenggaranya UN 2007—dengan sejumlah kecurangan yang terjadi—sebagai penentu kelulusan dan masuknya bimbingan tes ke sekolah lewat tender dengan alasan untuk mengatasi kepanikan siswa dalam menghadapi UN.

Itu artinya, proses yang membunuh pendidikan tetap berlangsung tanpa bisa dihentikan karena UN telah berhasil mereduksi esensi dari makna belajar.

Dunia pendidikan kini berduka. Praktik pendidikan diperlakukan tak ubahnya seperti dunia persilatan yang mengutamakan otot dan dunia perdagangan yang mementingkan produk akhir yang bernilai ekonomis. Bagaimana produk itu dibuat seolah bukan urusan pejabat yang berwenang.

Pada masa datang, proses pendidikan di sekolah tidak lagi semata pemintaran intelektual (kognisi), tetapi patut diarahkan juga kepada pembentukan karakter (afeksi) yang menetaskan manusia berbudi pekerti yang mencerminkan pribadi dengan integritas moral yang tinggi guna melahirkan pemikir untuk menakhodai biduk bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar